Derap Atar

38 4 0
                                    

Aroma afiat pagi menyeruak tanpa permisi.
Kupu- kupu di perut mulai mondar mandir terbang.
"Perjalanan kali ini akan menyenangkan" kata Pak Guru bersorai.
Ah~ rasanya liburan tingkat menengah ini akan melukiskan sebuah kenangan janguk, beban di dada kian berkurang
'Terima kasih Pak Guru' seruku dalam hati. Perjalanan ke dermaga cukup lama kebosanan mulai melilit syaraf lalu kami memutuskan bermain tebak kata, ternyata permainan ini hanya bertahan 3 jam saja sebab lelah membuat kami tertidur.
Dalam lelap aku merayan bahtera sangat indah, bersih dan megah jika dibanding dengan bahtera usang berkarat yang sering menjadi langganan siaran lokal.
Angkatan kami berjumlah 350 pelajar, kami semua mengikuti acara perjalanan sekolah yang selalu diadakan setiap tahun namun berbeda tujuan pula. Kali ini, tujuannya Pulau Nimbiru. Pulau Nimbiru berada di Distrik Yeunho sangat jauh dari pusat kota, meski jauh panorama Pulau Nimbiru seperti gubahan nirmala. Kami mulai menyebrang gelombang laut mulai terasa kemungkinan pengaruh cuaca. Pak Guru membagikan daftar anggota setiap kabin sebab perjalanan laut harus ditempuh setengah hari. Ukuran kabin sempit, salah satu pelajar mengeluh tidak nyaman
"Menyebalkan! kamarku berukuran 2 kali lebih besar dari kabin sialan ini" katanya.
Sudahlah nikmati saja, tatapku. Ketika tengah malam tiba suara dan dentuman membangunkan seluruh penghuni kabinku, beberapa dari mereka panik bahkan merekam kejadian ini dengan ponsel. Awak kabin tiba dengan membawa jaket pelampung
"Pakailah, selamatkan diri kalian secepat mungkin" katanya lalu pergi begitu saja, perkataan awak kabin tadi spontan membuat kami semua ketakutan bahkan beberapa teman menangis histeris.
"Selamatkan aku!"
"Miring 90 derajat! bagaimana ini?"
"Pegang tanganku!"
"Aku masih ingin hidup"
"Tolong aku, cepat telfon 119 minggu depan aku ujian masuk perguruan tinggi!"
"Hei! berikan pidatomu untuk terakhir aku sedang merekammu hahaha"
"Tuhan aku takut".
Laung demi laungan menggema diseluruh kabin. Aku berusaha keras menahan badanku agar tetap berjalan dengan mudah ketika kemiringan ini sudah 180°, beberapa teman tertinggal dibelakang sebagian dari mereka tertimpa puing- puing atap, kursi bahkan kaca jendela yang mulai terpecah. Darah mengucur mewarnai lantai, aku menengok kebelakang hanya diriku yang tersisa di lantai 3
"Aku lelah Tuhan" tangisku,
langkah mulai melambat. Air mulai naik menghisap sebagian badanku, aku putus asa. "Hei! Ayo kita cari jalan lain bersama!" seru seseorang yang tiba- tiba muncul disampingku, tubuhnya basah, keningnya tergores luka yang sepertinya amat dalam. Anggukan milikku menjadi persetujuan kami untuk melanjutkan mencari pintu keluar lantai yang kami pijak. Dia teman lelakiku, salah satu murid terbaik diangkatanku, dengannya kekhawatiran sedikit berkurang. Usaha kami berbuah keberuntungan mungkin? pintu keluar di lantai kami pijak ini tinggal beberapa langkah, temanku menggandeng dengan erat. "Kita bisa! bertahanlah" dia tersenyum dan sangat bersemangat untuk selamat dari malapetaka tidak terduga hari ini. Sial! Pintu terkunci. Kami berusaha setengah mati membuka pintu keluar, air mulai menyentuh leher kami. Kami harus berjinjit untuk melihat keadaan luar dari jendela, sungguh sial jendela susah dipecahkan. Ah~ air mencium bibirku, temanku memeluk erat matanya tetap tersenyum sabit
"Tidak papa, aku bersamamu, dengarkan suara helikopter diatas pasti tim akan segera menyelamatkan kita"
"Peluk aku erat, aku tidak akan melepasmu" lanjutnya. Penyelam melewati tempat kami terperangkap. Dia melambaikan tangannya. Sepertinya mereka melihatku dan temanku. "Pasti kita selamat!" seruku, air semakin tinggi temanku mengangkat tubuhku lebih tinggi. Peluknya semakin erat tetapi pelukku terlepas. Asin mulai memakanku, pedas dan tersedak. Temanku menggapaiku yang terjatuh semakin dalam.
Sudahlah, aku akan ujian esok entah tiada yang mengetahui.
Maafkan aku Ma, Pa mungkin aku akan berlibur cukup lama.
Maaf.

Aku, sejumput kata. Where stories live. Discover now