❄️ BAB 15 - Sultanisme

4.4K 732 118
                                    

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 10 Juli 2019 (BAB 15)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***
Bab 15 - Sultanisme

***

BAB INI MEMERLUKAN KONSENTRASI UNTUK MEMBACANYA. SILAKAN CARI TEMPAT ATAU POSISI MEMBACA YANG NYAMAN.

Bantu saya temukan typo.

***

[DULU - Sultan El Firdausy]

"Kamu menjelaskan sepanjang itu pada Ayaz?" Astrid bertanya saat kami sedang dalam perjalanan pulang dengan bus. Aku memilih pulang dengan bus karena ada rute lain yang bisa ditempuh supaya ada waktu lebih panjang dengan Astrid.

"Iya. Ayaz tidak perlu diajari sebenarnya. Aku hanya menceritakan satu fenomena di negara kita. Karena yang aku lihat tidak ada hal yang mencoloknya seperti fenomena hijrah di tanah air. Ayaz sudah tahu banyak."

"Terus reaksinya gimana?"

"Reaksinya? Ya dia mengerti. Yang aku jelaskan pada Ayaz bukan sesuatu yang terlalu rumit untuk dia cerna."

"Kamu yakin dia baik-baik saja?"

"Yakin. Ayaz cuma tidak tahu harus bagaimana caranya menolak Ulfa dengan tanpa melukai."

"Mustahil!" tampik Astrid, "Nggak ada penolakan yang tidak dibersamai luka."

"Ya, tapi Ayaz sudah tahu caranya setelah ngobrol sama aku."

"Gimana?"

"Ya rahasia. Ini jurusnya laki-laki."

"Ish. Apaan sih."

Aku terkekeh melihat reaksinya. Perutku mulai terasa lapar. Tapi belum aku ungkit lagi di depan Astrid. Hari sudah gelap sekarang. Persediaan beras di flat tinggal satu kali masak lagi. Bahan makanan yang kupunya juga sepertinya belum aku pasok. Aku sempat mengkhawatirkan ini dari pagi. Bagaimana kalau nanti Astrid lapar juga? Harusnya hari ini Gunawan sudah mentransfer uang yang dia pinjam minggu lalu sesuai janjinya. Tapi belum ada notifikasi di ponselku atau sekadar konfirmasi. Di dompetku hanya ada beberapa lembar uang yang cukup untuk makan malam ini saja. Bagaimana dengan sarapan?

Aku beristighfar kemudian. Tersenyum. Tidak boleh begitu. Tidak boleh mengkhawatirkan rezeki. Untuk sesaat aku memperhatikan Astrid yang sedang memainkan ponselnya.

Kadang aku ingin mengatakan banyak hal pada Astrid. Tentang diriku. Tentang dirinya. Tentang kita berdua. Dan tentang banyak hal yang ingin aku yakinkan padanya.

"Astrid besok mau pukul berapa berangkatnya?" tanyaku. Mode 'Astrid' selalu menjadi bagian favoritku kalau sedang bersamanya.

"Pagi agak siangan deh."

"Sekitar pukul sembilan atau sepuluh berarti, ya?"

"Iya."

Aku terdiam sesaat, "Nggak bisa bakda zuhur saja?"

"Nanti sampai sana suka males kalau kesorean. Kenapa? Kamu ada UTS jam segitu?"

"Iya."

"Ya udah sih, nggak apa-apa kalau nggak bisa antar."

RENTAN: Semusim di Praha [OPEN PO]Where stories live. Discover now