1. Sebelas Juli

368 30 3
                                    

Suasana kantin SMA Bina Bangsa siang itu begitu ramai. Hari pertama masuk sekolah setelah libur dua minggu seakan menjadi hari luapan kerinduan siswa-siswa terhadap masakan-masakan para pedagang kantin yang berjajar menawarkan makanan lezat dikala perut sedang lapar saat jam istirahat siang.

Tanggal sebelas bulan Juli, menjadi hari kebahagiaan bagi Alanis, Evelyn, dan Kayonna. Tiga sahabat yang ditakdirkan selama tiga tahun berturut-turut selalu berada di kelas yang sama. Ini seperti sebuah pertanda bahwa persahabatan mereka juga akan selamanya. Mereka menjadikan tanggal sebelas Juli menjadi momen spesial dalam hidup mereka.

"Gue nggak nyangka banget kita bakal sekelas lagi di kelas terakhir ini," ucap Evelyn antusias. Dia menganggap persahabatan mereka yang tak pernah longgar sedikit pun itu karena sebuah mukjizat.

"Kalau gue pikir sih ini bukan sebuah kebetulan. Kali aja Pak Arman tahu kalau kita sohib kental. Jadi dia nggak mau misahin kita." Begitulah pendapat Kayonna meskipun dia tidak seratus persen yakin. Dia hanya mengira saja bahwa Pak Arman, admin sekolah, mengatur kelas mereka sedemikian rupa sampai mereka tidak terpisah selama tiga tahun.

"Menurut gue sih, Pak Arman nggak akan sekurangkerjaan itu ngurusin persahabatan kita. Karena udah jelas di sekolah ini banyak siswa yang punya sahabat karib. Nggak mungkin juga Pak Arman milah siswa sebanyak itu. Jadi kita syukuri aja kita masih bisa sekelas sampai perpisahan nanti." Pendapat ketiga muncul dari bibir Alanis. Pendapat paling masuk akal yang bisa diterima tanpa banyak protes.

Evelyn manggut-manggut menyetujui pendapat Alanis. Dia ingin berkata lagi namun mulutnya masih penuh dengan bakso yang baru saja dikunyahnya.

"Telen dulu tuh bakso. Biji mata lo keluar baru tahu rasa," omel Kayonna melihat sahabatnya yang berambut panjang dan lurus khas bintang iklan shampo namun gaya makannya seperti orang kesurupan.

"Gue lebih bersyukur karena di kelas kita ada David." Evelyn langsung bicara tanpa memedulikan omelan Kayonna. "Kalian tahu kan, dia keren banget."

"Ya, gue harus akui itu. David memang keren. Idola cewek masa kini. Gue nggak akan nyangkal kalau gue tertarik sama dia."

"What???" membulat mata Evelyn mendengar keterusterangan Kayonna. "Jadi lo naksir sama David?" Evelyn mengecilkan suara sambil melirik kanan kiri. Kantin sedang dipenuhi dengan siswa-siswa yang kelaparan. Jadi Evelyn tidak ingin menarik perhatian mereka.

"Lo serius, Yon?" Alanis mendekatkan wajahnya karena terkejut. "Selera lo udah berubah?"

"Emang lo tahunya selera gue kayak gimana?"

"Lo suka yang otaknya brilian tapi bodinya gagah kayak binaraga."

"Jadi lo kira David nggak brilian dan gagah?" Kayonna tersenyum malas. "Lo belum pernah lihat dia bertelanjang dada."

Alanis dan Evelyn menelan ludah dengan sorot mata membeku seakan tak sanggup berkedip. Tapi dari raut wajah mereka, Kayonna yakin bahwa dua sahabatnya ini sedang membayangkan David tanpa mengenakan baju. "Lo pernah?" tanya mereka berbarengan.

Kayonna mengangguk bangga. Dia ingat saat mereka masih di kelas sebelas, tak sengaja dia masuk ruang ganti cowok karena ruang ganti cewek sedang penuh. Saat itu kelas mereka ada jadwal olahraga di jam kedua, sedangkan kelas David jam pertama. Dia tidak mengira bahwa di dalam ruang itu masih ada satu cowok.

Kayonna memang terkejut dengan pandangannya yang tertumbuk pada dada bidang David saat cowok itu sedang mengganti kaos olahraga dengan seragam putih abu-abu. Dia baru sadar saat David menoleh dengan kerutan kening tanda bertanya. Seketika Kayonna meminta maaf dan mundur gelagapan.

"Gila, lo nggak malu ketahuan ngelihat cowok yang lagi ganti baju?" tanya Alanis yang lebih pemalu dari ketiganya. Wajahnya pasti semerah tomat saat kepergok sedang melihat dada bidang David.

The EleventhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang