2. Taruhan

210 26 6
                                    

Hidup tidak selalu seperti yang dibayangkan. Tidak semenarik yang direncanakan. Tidak juga seindah yang diimpikan. Hidup bergelombang seperti air laut yang bebas bergerak ke mana pun angin menghempaskan. Seringkali setiap orang berusaha mengarahkan usahanya agar kenyataan sesuai dengan harapan. Tapi tidak semuanya akan berhasil. Seperti pula yang dirasakan Alanis siang itu saat bertemu dengan Adam dan David bersamaan di tempat parkir. Seandainya tidak ada Adam, Alanis akan bersyukur dengan kesempatan ini. Tapi karena ada Adam, lebih baik kalau dia tidak sendirian. Sayangnya dua sahabatnya sedang tidak ada di sampingnya.

Evelyn dan Kayonna lebih dulu pulang karena ada kepentingan mendadak yang mengharuskannya pulang sendiri-sendiri. Sepertinya masalah keluarga. Kalau dalam hal itu, Alanis tidak berani ikut campur terlalu jauh. Dia cukup memberi support kepada sahabatnya yang hidupnya tak jauh dari masalah seperti dirinya.

Evelyn, cewek cantik berambut panjang yang terkenal di televisi sebagai bintang iklan, tidak mendapat restu untuk menjadi aktris dari ayah ibunya yang berprofesi sebagai dokter. Orang tuanya sangat otoriter dan mendikte apa yang harus dilakukan oleh Evelyn. Cewek itu seringkali tertekan dengan cita-cita yang tak diharapkan. Disaat banyak cewek di luar sana mengharap bisa masuk jurusan kedokteran, Evelyn malah menolak.

Kayonna, cewek tomboy dengan rambut khas potongan rambut cowok. Gemar berolahraga dan benci cewek alay bin lebay. Hidup bertiga dengan kakak perempuan dan kakak ipar yang dijulukinya “si monster”. Bukan karena wajah kakak iparnya yang buruk rupa, tapi karena sifat kasar dan temperamen yang membuat Kayonna menjulukinya seperti itu. Orang tuanya telah tiada meninggalkan harta melimpah untuk Kayonna dan kakaknya.

Sedangkan dirinya sendiri, Alanis Flora Rahandika, cewek berwajah tirus dan rambut lurus sebahu, tinggal berdua saja dengan ayahnya sejak kedua orang tuanya bercerai ketika dia duduk di bangku kelas empat SD. Sampai saat ini, Alanis hanya bertemu setahun sekali dengan ibunya.

***

Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan berada di dekat dua orang cowok, kalau saja cowok itu bukan cowok yang ditaksirnya atau cowok yang naksir padanya. Alanis ingin mencari perhatian David, tapi ada Adam di sebelahnya.

“Al, lo pulang sendiri? Mana Evi dan Yona?” tanya Adam sudah duduk di atas motor. David juga sudah duduk di atas motor, menyunggingkan senyum termanis kepada Alanis. Alanis langsung saja menampilkan senyum semanis mungkin untuk membalas senyum yang didambakannya itu.

“Udah pulang, Dam. Ada keperluan penting kayaknya.”

“Terus lo pulang bareng siapa?”

“Pesan taksi aja,” jawab Alanis tapi pandangannya mengarah pada David. Dari tempatnya berada, Adam jelas tahu ada yang tidak beres dengan pandangan Alanis kepada David.

“Gue anter lo pulang.” Adam mengatakannya dengan tegas. Tidak menawarkan. Tidak mengajak. Cara bicaranya seolah-olah meminta Alanis untuk mengikuti kemauannya.

Alanis kecewa dalam hati. Kenapa bukan kamu yang mengajakku pulang bareng, Vid?

“Makasih, Dam. Tapi gue pulang sendiri aja.”

“Ikut Adam aja, Al. Dari pada sendiri di jalan nggak ada temen ngobrol.” Tak disangka, David menyahut. Seketika Alanis menoleh dan mendapati wajah putih mulus itu masih tersenyum padanya. Senyum memesona yang sanggup menyihir perasaannya.

Gimana kalau aku ikut kamu aja, Vid? Kalimat tanya itu hampir saja terlontar dari bibir Alanis. Dia bersyukur tidak punya nyali menanyakannya. Bukan malu bertanya, tapi malu kalau sampai David menolak di depan Adam.

Suara motor Adam menderu, menandakan kalau cowok itu tidak ingin berlama-lama di halaman sekolah. Dengan mantap dia menyorongkan helm pada Alanis. Alanis membeku. Tak ada alasan lagi untuk menolak ajakan Adam. Tidak ada taksi yang datang seperti yang diucapkan sebelumnya karena dia memang belum memesan.

The EleventhWhere stories live. Discover now