8. Pulang Berdua

112 16 0
                                    

Matahari tak begitu terik pada pukul dua siang. Musim penghujan menjadi salah satu sebab sehingga cuaca tidak sepanas biasanya. Suasana seperti itu digunakan sebagian siswa SMA Bina Bangsa untuk berolahraga di gelanggang olahraga yang dimiliki oleh sekolah itu. Sebagian lagi menuju sekretariat ekskul yang berjajar di lantai satu, dekat dengan gelanggang olahraga.

Alanis, Evelyn, dan Kayonna juga tidak langsung pulang. Mereka turut asyik bersama teman-temannya untuk mengobrol atau sekedar menonton teman-temannya yang bermain basket di pinggir lapangan.

“Kayaknya ini kesempatan gue deh untuk deketin David,” ucap Kayonna dengan tatapan mengagumi sosok David. Cara bermain cowok itu memang keren. Gaya jatuhnya saja patut diacungi jempol.

“Buruan deh, gue pengin liat aksi lo,” jawab Evelyn malas. Gadis itu masih bad mood gara-gara kemarin David lebih memilih pulang dengan Alanis.

Di sampingnya, Alanis tidak bisa menahan bibirnya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Ev, sori yang kemarin ya. Gue kemarinnya emang udah janjian sama David pulang bareng.”

Evelyn menoleh dengan tatapan tak bersahabat. Tapi kemudian gadis berambut panjang itu mengibaskan sebelah tangannya di depan wajahnya sendiri. “Udahlah, lo nggak salah. Gue aja yang kelewat baper.” Evelyn berhenti untuk menarik napas panjang. “Lo bisa bayangin, waktu gue ada kesempatan makan bareng David, tiba-tiba Prissa dateng. Terus waktu gue mau pulang bareng, ternyata dia udah janjian sama lo. Gimana gue nggak kesal?”

“Iya, gue ngerti,” jawab Alanis pendek berusaha memahami perasaan Evelyn.

“Lama-lama gue mikir, ini taruhan konyol deh. Ini bukan lagi tentang obsesi, tapi tentang perasaan.”

“Lo bener-bener udah jatuh cinta sama David?”

Evelyn mengangkat bahu. “Gue juga nggak ngerti gimana perasaan gue. Cuma sekarang gue sering aja sakit hati dan cemburu kalau liat David jalan bareng cewek lain.”

Alanis menahan untuk tidak menjawab. Gadis itu mencoba memahami keadaan yang berubah perlahan. Dimulai dari taruhan konyol mereka kemudian berlanjut dengan perasaan yang tidak bisa dibohongi lagi.

Pandangan Alanis beralih ke tengah lapangan basket. Dia melihat Kayonna telah bergabung bermain basket dengan David. Wajah David dan Kayonna terlihat santai, seperti sepasang sahabat yang sudah kenal lama. Siapa pun yang baru melihat mereka pasti akan menganggap mereka punya rasa lebih sekedar sahabat. Sayangnya itu tidak berlaku pada dirinya sendiri. Dia tidak cemburu sama sekali seperti apa yang diungkapkan Evelyn baru saja.

Mengapa? Mengapa aku nggak cemburu?

“Gimana sama lo, Al?”

“Apa, Ev?” tanya Alanis tergagap dengan pertanyaan mendadak Evelyn setelah dia lama melamun.

“Lo nggak cemburu liat mereka?” dengan dagunya Evelyn menunjuk David dan Kayonna. Dari raut wajahnya saja, Alanis tahu kalau Evelyn sedang cemburu. Mata gadis itu menatap nyalang.

“Gimana sama lo sendiri? Lo cemburu?”

“Lo masih tanya.” Evelyn tersenyum miris.

Alanis ikut tersenyum, terseyum pahit. Baru kali ini dia tahu Evelyn benar-benar jatuh cinta pada cowok. Sejak mengenal Evelyn di kelas X, belum pernah sekali pun Alanis melihat wajah Evelyn segalau ini. Jadi tegakah Alanis menghancurkan perasaan Evelyn?

“Lo masih belum ingin balik?”

Sebuah suara mengalihkan perhatiannya. Alanis menoleh ke belakang. Begitu juga Evelyn yang ingin tahu siapa yang bertanya. Ketika Adam-lah yang bertanya, Evelyn tersenyum heran.

The EleventhWhere stories live. Discover now