11 Malam Temaram

99 15 0
                                    

“Gue pulang bareng David aja, Dam. Sori ya.” Alanis melangkah cepat meninggalkan Adam yang tertegun karena penolakan gadis itu. Sebenarnya ini seperti teka-teki silang yang harus dia pecahkan tentang hubungannya dengan Alanis. Seringkali Alanis bersikap baik padanya dengan menerimanya sebagai teman yang nyaman untuk diajak ngobrol. Tapi seringkali Alanis menghindar saat dia ingin menjalin hubungan lebih dekat. Dan yang paling tidak bisa diterimanya adalah penyebab menjauhnya Alanis darinya adalah kehadiran David.

Adam melihat tubuh gadis itu semakin lama semakin menjauh. Hilang bersama deru motor David yang berlalu kencang. Adam tak bisa berpikir normal. Dia mengikuti ke mana David membawa Alanis pergi. Dia mendesah lega tatkala melihat mereka hanya menikmati jus buah di pinggir jalan. Paling tidak, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Adam : Cepet pulang, Al. Jangan lama-lama pergi sama David

Adam tak peduli meski Alanis akan menganggapnya terlalu ikut campur setelah gadis itu membaca pesannya. Dia hanya tidak tenang melihat Alanis berdua dengan David. Dia tahu David populer bukan karena prestasinya dalam bidang akademik, melainkan sebagai playboy di sekolah. Entah sudah berapa gadis yang dipatahkan hatinya karena David memutuskan dengan alasan bosan. Terakhir dia tahu David sedang mendekati Prissa. Tapi entah mengapa sebelum mendapatkan Prissa, David berubah haluan mengejar Alanis. Adam tak tenang akan hal itu.

Adam baru bernapas lega saat melihat Alanis berdiri dan bersiap untuk menaiki motor lagi. Sepertinya Alanis mengikuti saran dari pesannya meskipun gadis itu tidak membalas apa pun. Paling tidak, Alanis tidak mengabaikan perhatiannya.

Seperti tidak mau kalah langkah dengan David, malam harinya Adam mendatangi rumah Alanis. Dia tidak berencana untuk mengajak Alanis keluar rumah, dia hanya ingin mengobrol dengan gadis itu.

“Malam, Om. Alanis ada?” sapa Adam ramah kepada Bastian yang membukakan pintu untuknya.

Bastian mencoba mengingat nama pemuda yang pernah mengantarkan Alanis pulang terlambat malam itu. Sepertinya pemuda ini juga yang mengantar Alanis pulang saat Alanis bertemu dengan Airin sepulang makan malam.

“Kamu Adam?”

Adam mengangguk dengan senyuman tipis. Lega karena papa Alanis masih mengingatnya.

“Alanis ada di dalam. Mau ke mana?”

“Nggak ke mana-mana, Om. Saya cuma pengin main ke sini.”

“Beneran nggak mau ngajakin Alanis keluar?” tanya Bastian lagi tidak yakin.

“Bener, Om.”

Bastian terdiam beberapa detik sampai akhirnya membuka pintu lebar menyilakan Adam masuk. Dia meminta Adam duduk kemudian naik memanggil Alanis. Sebagai seorang ayah yang sangat protektif, Bastian bisa mempercayai Adam sebagai pemuda baik-baik. Penampilan pemuda itu sopan, kaos polo yang dipadukan dengan jeans normal, bukan jeans robek sana robek sini.

“Al, ada Adam di bawah.”

Alanis yang sedang tengkurap sambil bermain ponsel, berbalik mendadak ketika mendengar nama Adam. “Adam, Pa?”

“Iya, Adam. Kamu nggak lupa kan kalau punya teman sekelas bernama Adam?” Bastian berbalik. “Dia bilang mau ngobrol sama kamu, nggak ngajakin keluar,” lanjutnya kemudian menghilang di balik pintu.

Kening Alanis berkerut mendapati Adam kini sedang duduk sopan di kursi tamunya. Alanis tak dapat mengintip terlalu lama karena posisi tangga tepat ada di depan ruang tamu, sehingga Adam bisa mendengar derap langkahnya ketika menuruni tangga. Terbukti sekarang Adam mengalihkan perhatian kepadanya. Cowok itu tersenyum tipis. Khas senyum Adam yang membuat jantung Alanis berdetak tak senormal tadi.

The EleventhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang