5. Pesan Pertama David

118 20 0
                                    

Mereka terdiam selama dalam perjalanan. Alanis tidak berminat untuk membuka obrolan. Sedangkan Adam konsentrasi menyetir dengan tangan kanannya sesekali menopang di jendela dan mengelus dagunya.

Berada dalam kondisi canggung bukanlah sesuatu yang menenangkan. Perjalanan yang tidak terlalu jauh terasa lama jika bersama dengan seseorang yang membuat hatinya gelisah. Tak sadar dia melirik Adam, ingin tahu seperti apa raut wajah Adam saat terdiam begitu. Adam yang merasa diamati melirik dengan cepat. Lalu kedua mata mereka tertumbuk beberapa detik sampai Alanis membuang muka lebih dulu. Debaran jantungnya terlalu keras sampai dia kesal pada dirinya sendiri.

"Lo udah makan?"

Alanis menoleh kaget. "Apa?"

"Lo udah makan?" tanya Adam lagi.

"Belum." Alanis menggeleng.

"Mau makan dulu?"

"Nggak." Alanis menjawab cepat. "Gue cuma dikasih waktu sampai jam sebelas sama bokap."

"Oke, kalau gitu kita langsung pulang."

Lalu hening lagi. Tidak ada pembicaraan sampai mereka tiba di depan pagar Alanis. Tak disangka, Adam ikut turun ketika melihat pintu rumah Alanis terbuka. Jantung Alanis berdetak tidak normal. Dia tahu papanya pasti sudah menunggunya sejak tadi. Dia terlambat setengah jam.

"Lo nggak usah turun. Cepet balik aja," Alanis melirik ke belakang saat melihat papanya berjalan ke arah mereka. Keningnya berkerut ketakutan.

"Gue harus minta maaf sama bokap lo karena telat nganterin lo pulang."

"Ini bukan salah lo. Cepetan pulang, Dam, please..."

"Alanis!"

Suara papanya terdengar seperti suara gemuruh yang datang di malam buta. Jantungnya seakan berhenti berdetak dan tubuhnya membeku. Adam kasihan melihat reaksi Alanis yang ketakutan.

Bastian menatap putrinya menahan kekesalan. Kemudian dia menoleh melihat Adam. Lalu dahinya berkerut heran. "Kamu pulang tidak tepat waktu. Papa cemas menunggu kamu."

"Maaf, Pa. Aku..."

"Dan kenapa kamu tidak pulang dengan Kayonna?"

Alanis menggigit bibirnya, kelu. Kalau dia mengatakan Kayonna mabuk, itu sama saja dengan berterus terang bahwa mereka baru saja dari klub malam. Bukan ke kafe seperti yang diucapkannya sebelum berangkat tadi.

"Kayonna buru-buru pulang, Om. Ada kepentingan keluarga," ucap Adam tenang untuk menyelamatkan Alanis dari kemarahan Bastian.

"Kamu siapa?" Bastian menatap Adam, lelaki yang tak pernah dilihatnya sebelumnya.

"Saya Adam, Om. Teman sekelas Alanis."

Tidak ingin menambah keributan, Alanis segera menoleh pada Adam. "Dam, makasih udah anter gue pulang. Gue masuk dulu ya," kata Alanis merasa bersalah. Gadis itu menarik tangan Bastian saat lelaki itu masih mengamati Adam dengan cermat.

Alanis tidak menoleh lagi meskipun dia belum mendengar deru mobil Adam meninggalkan rumah mereka. Alanis baru mendengarnya ketika dia dan Bastian telah di dalam rumah.

"Itu pacar kamu?" tanya Bastian masih dengan nada gusar.

"Bukan, Pa. Adam cuma teman."

"Papa nggak suka kamu bergaul dengan cowok sembarangan."

"Pa, aku minta maaf karena pulang telat. Tapi, please, jangan marah-marah di depan teman-temanku, Pa."

"Kamu tidak disiplin. Tidak bisa dipercaya. Kalau kamu tidak bisa pulang tepat waktu, mending kamu tidak usah keluar rumah. Belajar saja buat masa depan. Di luar juga rentan dengan pergaulan bebas. Papa tidak yakin kamu bisa menjaga diri kalau bergaul dengan lelaki yang salah." Bastian meluapkan emosinya panjang lebar. Setelah lelah, dia melenggang masuk ke kamar tanpa berniat berdamai dengan putri satu-satunya itu.

The EleventhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang