Chapter 2

367 52 12
                                    

Taka melipat kedua tangannya di dada. Ia dan tiga anggota lain tengah duduk di ruang ganti melingkari kotak berwarna merah yang sudah terbuka itu. Isinya berupa sepatu merk NIKI yang sepertinya asli dan tentunya berharga fantastis, Taka yang memiliki sekian banyak sepatu bermarga sama bisa mengenalinya dalam satu kedipan. Bukan masalah keaslian atau harga sepatu itu yang membuat empat orang dewasa itu termenung, melainkan isi kartu yang turut menyertai sepatu itu, kartu yang bisa dicirikan sebagai pesan kecemburuan si pengirim terhadap Toru yang memang selalu sekamar dengan Taka.

"Apa ada teman-"

"Bukan, bukan dari temanku." Taka memotong ucapan Tomoya dengan lugas. "Hampir semua kenalanku mengenali Toru-san, dan bahkan mereka sering menitipkanku pada Toru-san."

Mendukung argumen Taka, Toru mengangguk, ia juga setuju. Bahkan, Takeru yang mengklaim bahwa Taka adalah sahabatnya, suaminya, istrinya, dan pacarnya pun menitipkan Taka padanya tanpa rasa cemburu seperti ini, apalagi dengan pesan semacam itu, pesan yang mengganggu dan menggelisahkan.

"Dari... penggemar yang fanatik?" tebak Ryota ragu.

Taka hanya diam. Dirinya mau tak mau merasa setuju. Ia dan Toru sebenarnya sudah membahasnya setelah ia benar-benar terbangun sehabis sarapan di kamar mereka. Sama seperti Ryota, mereka juga menduga si laba-laba ini adalah salah satu penggemar One Ok Rock, dan secara spesifik, dirinya. Ia sebenarnya tidak menyukai dugaan itu, ia selalu ingin menghormati dan memberi yang terbaik untuk para penggemarnya, dan yang mereka lakukan sekarang lebih ke arah mencurigai mereka. Ia tidak menyukainya.

"Ya..." Toru yang menjawab.

Hening menyela sejenak hingga Tomoya memutus keheningan itu dengan kalumat penuh keraguan. "Kalian tahu apa yang kupikirkan?" katanya menarik perhatian yang lain. "Kenapa pengirimnya tahu persis kamar Toru and Taka-chan, padahal kita menyewa seluruh lantai?"

Sontak, waktu di lingkaran empat orang itu seolah terhenti. Selain Tomoya, mereka semua terpaku. Gagasan itu masuk akal, bahkan menyesal tidak terpikir hal itu. Sudah menjadi rutinitas mereka jika tidak menginap di bus tur, mereka akan menginap di hotel dan menyewa satu lantai untuk mereka dan staf-staf beristirahat. Mereka pun selalu memilih kamar secara acak, sesuka hati dan tanpa pola, tidak pernah tetap, juga tidak diharuskan bersebelahan-meski selalu dalam formasi Toru-Taka dan Tomoya-Ryota. Jika sudah begini, hanya ada dua kemungkinan, pengirimnya adalah staf mereka yang mengetahui nomor kamar dan bebas keluar-masuk atau-

"Benar-benar seperti penguntit."

Semua memandang Tomoya. Mereka mendesah gusar menanggapinya. Meski tidak suka, mereka juga memikirkan hal yang sama.

"Jangan membuat keributan dulu," tukas Toru. Ia bangkit dan berjalan hendak keluar. "Aku akan menanyai para staf tentang kotak itu dan juga buket bunga kemarin. Dan kau, Takahiro," -Toru menatap Taka yang sedikit tersentak- "jangan bepergian seorang diri, minta aku atau mereka menemani."

Toru keluar ruangan tanpa repot-repot menunggu balasan dari Taka. Sementara itu, Taka mendengus kasar begitu pintu tertutup. Suasana hatinya buruk sekarang, padahal jumpa penggemar akan mulai tidak kurang dari setengah jam lagi.

"Jangan terlalu dipikirkan Takahiro," ujar Tomoya.

"Aku tidak menyukainya," tukasnya, "tur masih panjang dan hal seperti ini malah terjadi. Apa aku melakukan sesuatu yang salah hingga jadi seperti ini?"

Tomoya dan Ryota bertukar pandang.

"Mori-chan..."

"Daripada itu, apa ada seseorang yang terpikirkan?" Tomoya mengalihkan topik.

Mata Taka jatuh pada Tomoya sejenak, namun dengan segera menggeleng lemah. Tidak ada siapapun yang terlintas di pikirannya, baik itu penggemar, staf, maupun kenalannya. Ia tidak suka perasaan terincar seperti ini, terlebih lagi seperti diharuskan mencurigai satu nama.

Toruka: Pulling Back [COMPLETED]Where stories live. Discover now