Chapter 5

420 49 17
                                    

Mata kelam Takahiro menatap langit-langit kamar yang ia tempati bersama Toru. Lampu sudah lama dimatikan. Hiruk pikuk kota yang tidak pernah tidur pun sudah berkurang. Di atas satu-satunya meja di ruangan itu, jam meja yang menunjukkan pukul empat pagi meneriakkan bunyinya tiap kali detik berlalu, membuat pendengaran siapapun menjadi terganggu.

Beralih dari langit-langit, matanya bergulir menatap punggung Toru yang naik-turun dengan teratur. Obat tidur bubuk yang ia larutkan dalam air tampaknya sudah mulai bekerja pada Toru, tentu, ia tidak meminum sedikitpun ait dari gelas itu. Ia pun beranjak duduk lantas mengambil jaketnya yang tersampir di kursi. Sebelum pergi ke kamar ini pun, entah kenapa, ia berhasil membujuk staff agensi untuk mengembalikan ponselnya, dengan alasan agar mudah jika ada keadaan darurat.

Setelah memastikan ponselnya sudah berada aman di saku jaketnya, ia merobek secatik kertas dan menuliskan beberapa patah kata yang ditujukan untuk Toru. Terakhir, dengan dibalut jaket, ia berdiri di dekat nakas di mana Toru menyimpan gelas kemarin. Tangannya bergerak, menyingkirkan rambut Toru dari pelipis. Dari balik rambut pirang itu, tampak mata Toru yang terpejam dengan warna kehitaman di daerah infraorbital yang sangat jelas, paling jelas dari yang pernah Taka lihat sebelumnya.

"Maaf, Toru-san," bisiknya di tengah gelapnya kamar. Dadanya sesak melihat betapa lusuhnya penampilan Toru yang tertidur saat ini. Ia pasti sangat kelelahan, melebihi lelahnya latihan terekstrem mereka. Lelah mental.

Taka menghela pelan sebelum akhirnya berbalik pergi dan menutup pintu dengan sangat pelan.

***

Datanglah ke belokan jalan pertama pukul lima, aku akan menunggu. Mari kita bicara pelan-pelan.

Takahiro mengeratkan mantelnya. Udara semakin dingin, salju sudah mulai turun. Matanya dengan teliti membaca huruf demi huruf pesan yang ia kirimkan kepada nomor orang yang menerornya. Ia bertekad langsung bertemu dan menyelesaikan masalah. Ia tidak ingin teman-temannya terluka karenanya, karena ulah orang itu.

Di sinilah ia sekarang. Pukul lima kurang seperempat, berdiri di tengah gelapnya shubuh dengan tubuh gemetaran dan gigi bergemeletuk. Embusan napas berwarna putih lembut keluar tatkala ia menghembuskan napas. Jika berkaca, ia akan tahu betapa merahnya ujung hidungnya dan birunya bibirnya.

Terbesit dalam hatinya orang penuh masalah itu tidak akan datang. Terbesit di pikirannya ia akan berada dalam bahaya besar jika orang itu datang. Tetapi sungguh, berdiri kedinginan seperti ini bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan mendapati temannya yang terluka atau lelah. Untuk kali ini, ia tidak keberatan menunggu selama apapun.

"Takeru? Kau masih bangun?"

Taka memutuskan menelepon salah seorang sahabatnya. Mengobrol mungkin bisa membunuh waktu membosankan ini dan menunggu jadi lebih menarik.

Takeru, sahabatnya yang satu ini, semalam apapun, sepagi apapun ia menelepon, pasti akan diangkatnya. Entah ia mengatur dering tertentu hingga ia tahu bahwa Taka-lah yang meneleponnya atau apapun yg ia perbuat, ia tidak pernah melewatkan teleponnya barang sekali pun. Luar biasa.

"Takapin? Kau sudah bangun? Tumben sekali."

Mendengar temannya yang mengajaknya ngobrol sesantai itu, bahkan menyindir, badan Taka menjadi sedikit rileks. Ia berjongkok dan mengambil ranting yang ada di dekatnya.

"Belum tidur," koreksinya, "aku tidak bisa tidur."

Goresan demi goresan ia buat di atas salju yang menumpuk. Dengan senang hati, ia merusak timbunan lembut salju muda itu.

"Huh? Memangnya sedang apa?"

"Menggambar," jawabnya jujur.

"Lalu, ada apa?"

Toruka: Pulling Back [COMPLETED]Where stories live. Discover now