Chapter 6

249 43 7
                                    


Bunyi rantai yang bergemerincing menggema. Takahiro baru saja membalikkan tubuhnya dengan kasar, kini wajahnya tenggelam di bantalnya.

Semakin lama dirinya tersekap di sini, semakin banyak hal baru yang ia tahu. Pertama, jam yang ada di ruangan itu semuanya mati, baik jam dinding maupun koleksi jam tangan yang sama dengan miliknya, semuanya pun menunjukkan pukul satu, ia jadi tidak tahu menahu sudah berapa lama ia di sini.

Kedua, tidak ada sama sekali jalan keluar. Pintu di samping kanan itu selalu terkunci rapat, tetap bergeming ketika ia mencoba membukanya dengan paksa. Jendela-jendela yang ada dibuat seolah-olah menghadap ke luar dengan ditempeli stiker foto, tentu foto pemandangan yang sama dengan yang seperti ia lihat dari jendela kamar di rumahnya. Dan terakhir, pintu sebelah kiri yang terhubung dengan kamar mandi. Ada CCTV di dalamnya, membuat Taka hanya akan ke kamar mandi bila benar-benar dibutuhkan.

Ketiga, semua detail benar-benar diperhatikan, goresan di mejanya yang ia buat saat tidak sengaja membenturkan gitar Toru terpatri di sana—Toru saja bahkan tidak tahu gitarnya terbentur di sana. Niat sekali. Tempat biasa ia meletakkan ponselnya pun sama. Ada ponselnya di situ. Ia yakin itu bukan tiruan karena baterainya dilepas, mencegahnya menggunakannya dan hanya berfungsi sebagai pajangan.

Taka kembali menbalikkan badannya. Suara rantai kembali terdengar. Pupilnya sedikit mengecil kala ia menatap lampu. Pikirannya berusaha keras mencari petunjuk sekecil apapun yang bisa membuatnya terhubung ke dunia luar, namun ia benar-benar terisolasi di sana.

Ketika pikirannya masih penuh, pintu di sebelah kanan itu tiba-tiba terbuka. Air ludah yang terkumpul di dalam rongga mulutnya itu ditelan paksa, rasanya tidak seperti menelan air berisi enzim ptialin, melainkan sekarung pasir berikut kerikilnya. Ia mendecih pelan sementara bulu halusnya meremang, bahkan buyi deritan pintunya pun terdengar sama, bahkan untuknya yang memiliki telinga sensitif.

Lelaki yang sama masuk kembali dengan membawa nampan dengan sesuatu yang ditutupi oleh sebuah penutup saji. Lelaki itu terus berjalan menghampiri meja dengan mangkuk tertutup berisi bubur yang tidak tersentuh.

"You have to eat," lelaki itu berkata sambil meletakkan bawaannya dan mengambil nampan dan mangkuk itu, "or else you'll get sick."

Taka mendengus dan menganggap lelaki itu sebagai angin lalu. Ia bisa mendengar lelaki itu mendesah sedikit dan terdengar bunyi nampan yang diletakkan di atas meja.

"Taka, look at me," kata si pelaku sok memerintah. Suara itu begitu dingin, membuat Taka mengeluh dalam hati dan terpaksa mengikuti perintah si penculik. Setelah ia memastikan mata kelam Taka mengarah padanya, lelaki itu membuka kubah makanan berwarna keperakan itu. Di dalamnya berisi mangkuk penuh nasi yang mengepul, tamagoyaki dan tuna rebus yang berada di atas satu piring, serta mangkuk berisi sup miso. "They're not poisoned."

Lelaki itu, lalu, tanpa diduga mengambil sendok yang berbaring di dekat mangkuk nasi, lalu mengaduk-aduk nasi di dalamnya, dan memakan nasi itu sesuap penuh. Dari posisi berbaringnya, Taka hanya menontonnya yang beranjak mengambil secuil tamagoyaki dan ikan tuna, lalu menyesap sup miso setelah mengaduknya dengan sumpit pula.

Badan Taka sedikit menegang saat lelaki itu berjalan ke arahnya. Vokalis itu segera bangkit dan bersingut menuju ujung sisi kasur sebelah kanannya, mengambil jarak sejauh mungkin dari lelaki itu.

"You haven't eaten even a bite."

Dengan mata yang memandang dengan nyalang, Taka hanya diam, berlawanan dengan lelaki yang memandangnya dengan alis bertaut dan wajah khawatir, meski kesan dingin dan menakutkan masih terpatri jelas.

Toruka: Pulling Back [COMPLETED]Where stories live. Discover now