Chapter 4

316 47 10
                                    

"Ow! Ow! Toru, itu sakit!" hardik Taka pada Toru yang sedang mengelap darah yang tak kunjung berhenti mengalir dari kepalanya. Dari balik kain yang basah oleh alkohol 70% itu, Taka menatap Toru yang tidak merespons seruan kesakitannya dengan tatapan galak. Namun, begitu matanya menangkap sosok Toru yang terlihat seperti mayat hidup membuatnya urung melanjutkan protesannya.

Lihat saja, sosok yang sebenarnya selalu tampak dingin dan cuek itu berubah menjadi orang yang seperti punya kelainan saraf. Tangannya tidak henti-hentinya bergetar. Mata yang selalu seperti mengantuk dan menatap sekelilingnya tanpa minat pun berubah menjadi seperti mata anjing yang baru disiksa. Pun bibir yang biasanya selalu terkatup itu kini bergetar, seperti menggumamkan sesuatu tanpa suara.

Taka mendesah dalam hati. Ia tahu persis apa yang dipikirkan Toru saat ini, juga apa yang membuat badan tegap besar itu tidak bisa berhenti gemetaran sejak lima menit lalu. Ia tahu persis, dan itu membuat dadanya sesak dan sakit yang melebihi sakit di lukanya.

"Toru-san..."

Toru tidak merespons sedikit pun. Tangan besar yang kapalan itu tetap--dengan gemetaran--mengoleskan cairan antiseptik dan mencoba menutupi luka baret yang melintang sepanjang tiga senti di dekat alis Taka.

Sekali lagi, Taka mendesah dalam hati. Matanya bergulir menatap batu yang membuat kaca itu pecah yang tergeletak di lantai. Batu itu ditempeli secarik kertas yang bertuliskan DON'T TOUCH MY TAKA, tentu target sebenarnya sangat mudah diketahui.

Mereka--bukan, Taka memang sudah menghubungi agensi--dan agensi pun segera memanggil polisi--saat Toru mencari kotak P3K dengan sedikit linglung, seperti mabuk.

"Aku pikir kau akan aman denganku..." lirih Toru. Ia sudah selesai menutup luka Taka secara keseluruhan dan sedang membereskan peralatannya. Matanya menatap kotak di dekat kakinya dengan sendu, enggan menatap Taka, seolah Taka akan menyalahkannya atas semua yang menimpa. "Aku pikir aku bisa menjagamu..."

Taka tidak berkomentar, tenggorokannya seperti ada yang menyumbat, sakit rasanya. Namun, sebelum ia bisa berkata lebih lanjut, suara sirene mobil polisi yang mendekat memotongnya.

"Apa kau bisa berdiri?" tanya Toru dengan suara lemah. Ia berdiri, hendak membukakan pintu untuk para tamu berseragam.

Dalam menyikapinya, Taka hanya dapat mengangguk.

.
.
.

"Bisa ceritakan kronologisnya, Taka-san?" Seorang polisi berwajah sangar dan berkumis tebal, dengan catatan dan pulpen di tangannya, menatap Taka dari balik kacamatanya yang merosot. Taka bergerak tak nyaman di tempat duduknya karena ditatap oleh polisi itu, lukanya sudah ditutup oleh perban yang lebih bagus, dengan penanganan yang lebih bagus pula.

Di sekeliling mereka, orang-orang berseragam berkeliaran mengotori lantai rumah Toru, beberapa di antara mereka sibuk memotret TKP, sementara beberapa yang lain berjaga di luar. Toru, tak jauh dari Taka, ikut menyimak pembicaraan Taka dengan polisi itu, juga dengan seorang staff dari agensi mereka.

"Aku tidak bisa tidur karena penguntit yang menguntitku--menguntit kami maksudku, saat tur kemarin. Jadi, sekitar pukul 2, saat hendak mengambil minum, tiba-tiba kaca pecah karena seseorang melempar batu besar itu. Anginnya sedang kencang, pecahan kacanya lalu terbang mengenaiku."

Polisi itu memilin kumisnya sambil mengangguk-angguk--basa-basi. Taka tahu polisi itu tidak mendengarkan ceritanya. Polisi itu pastilah senior yang ingin viral, atau ingin bayaran besar, atau bahkan promosi posisi sana-sini karena menyelesaikan kasus selebriti.

Bah.

Taka menggerling Toru yang kini berada di sebelahnya. Gitaris itu masih pucat, padahal yang kehilangan darah adalah dirinya. Percuma, Toru sedang tidak bisa diajak berbicara.

Toruka: Pulling Back [COMPLETED]Where stories live. Discover now