Insiden Yang Tak Disengaja

17.7K 1.9K 127
                                    

"Service AC, Mbak."

"Oh. Silakan masuk, Mas."

Setelah pintu kubuka cukup lebar, lelaki dengan seragam hitam itu, berjalan masuk sambil membawa seperangkat alat kerjanya.

"Kenapa AC-nya, Mbak?"

"Kayak ada bau bangkai gitu, Mas. Kalau kata teman saya, mungkin ada binatang yang mati di dalam. Tinggal dibuka aja tutupnya itu. Tapi saya takut, Mas. Kalau masangnya nanti nggak tepat malah makin parah kan? Makin besar dong nanti duit yang saya keluarin."

Si Mas mengangguk mengerti. Karena nggak mungkin aku berduaan dengan seseorang yang bukan muhrim -apalagi nggak kenal dan sangat bukan tipeku- aku keluar setelah menawarkan diri membuatkan minum untuk si Mas.

"Mbak Kir, nanti gue mau keluar."

Yang barusan adalah Yasmine, junior di bank tempatku bekerja, juga yang menjadi temanku di rumah. Eum.. begini. Rumah satu lantai dengan tiga kamar yang kutempati sejak tiga tahun terakhir, kubeli melalui bank. Salah satu keuntungan menjadi pegawai bank yang harus dimanfaatkan.

Tentu saja selain kredit rumah jadi lebih mudah, ada beberapa keuntungan lain yang aku dapat selama bekerja di bank. Seperti di salah satu artikel yang pernah kubaca, ada beberapa keuntungan bagi seseorang yang bekerja di bank.

1. Lifestyle di masyarakat. Pegawai bank sudah pasti tampil rapi, wangi, dan menarik bukan?

2. Jenjang karir bagus.

3. Gaji yang lumayan tinggi.

4. Mudah mencari pasangan.

Untuk poin keempat, aku tidak setuju. Buktinya sampai usiaku yang hampir mendekati angka tiga puluh ini, hilal jodoh tak kunjung terlihat.

Nimas bilang, aku terlalu pemilih. Sebenarnya tidak juga. Kita pakai logika saja. Kalian kalau mengenakan pakaian berdasarkan mahal murahnya, atau karena kenyamanannya?

Bagiku soal pasangan juga begitu. Aku tidak menilai laki-laki dari pekerjaannya, keluarganya, atau yang orang tua bilang bibit, bebet dan bobot-nya harus jelas. Kalau wajah, aku nggak mau munafik. Yang pertama kulihat tentu wajahnya, cakep atau enggak.

Intinya yang penting siapa yang bisa membuatku nyaman. Itu saja. Dan tidak memintaku menjadi orang lain.

"Mbak Kir.. Woy.."

"Eh, iya. Apaan?"

"Malah melamun. Gue bilang tadi mau keluar, Mbak. Biasa lah anak muda jalan-jalan pas weekend."

"Maksud lo, gue udah nggak muda lagi apa?"

Dia malah tertawa. "Udah ah, gue masih mau make-up. Nanti kalau Leon datang, bilang tunggu bentar ya."

Seingatku, ini rumahku, tapi kenapa malah dia yang bersikap sebagai nyonya rumah di sini?

Tapi setidaknya, Yasmine cukup berjasa. Karena tinggal di rumahku tentu tidak gratis. Lumayanlah, biaya kost-nya bisa membantuku membayar cicilan kredit rumah.

"Minumnya, Mas."

"Oh, iya. Makasih, Mbak."

Kuletakkan segelas sirup kurnia juga camilan ringan di atas nakas. "Gimana, Mas? Udah ketemu bangkainya?"

"Belum, Mbak. Agak ke dalam. Cicak ini kayaknya, Mbak."

"Iyalah, Mas. Nggak mungkin komodo."

Si Mas service malah tertawa. "Oh ya, Mbak. Teman saya tadi hubungi saya. Ada keperluan sama saya, jadi saya minta dia nyamperin saya ke rumah Mbak. Mbaknya nggak keberatan kan?"

(Not) A Big Deal (Selesai ✔)Where stories live. Discover now