Stand By 25 Jam

12.4K 1.5K 21
                                    

"Sama-sama, Kirana."

Ck, padahal aku tidak mengucapkan terima kasih padanya.

"Iya, gue tahu lo nggak ngomong thanks ke gue. Tapi gue ngerti kok, kalau sebenarnya lo berterima kasih karena gue udah menyelamatkan lo dari bandot tua itu," ujarnya seperti bisa membaca pikiranku.

Aksi Ranggih memang berhasil mengusir mundur Pak Andi dari mejaku. Pak Andi memang sempat terlihat tidak percaya dengan bualan Ranggih, tapi karena aku tidak memberontak saat Ranggih menci..

"Aww.."

"Lo berani-beraninya nyium gue lagi."

Dia mengelus tangannya yang barusan kupukul dengan tas tangan. "Gue kan udah bilang, defenisi ciuman versi gue itu pertemuan bibir dengan bibir. Dan gue nggak nyium lo tadi."

"Sama aja, Bangsul!"

"Awww... stop, Kirana. Sakit woyy!"

"Rasain lo. Makanya lo jangan sembarangan main tempel-tempelin bibir lo ke pipi gue."

"Kirana.. Aww.. Bandot tua itu masih bisa lihat kita."

Aku langsung menghentikan aksiku memukulinya. Ranggih benar, Pak Andi masih bisa melihatku dan Ranggih. Dia bisa saja curiga jika melihatku memukuli Ranggih secara brutal seperti ini.

"Gimana, Ran? Pak Andi udah per.. Omaigat! Ranggih Bhargava?"

Diza langsung heboh melihat Ranggih duduk di.. oh, itu kursi yang diduduki Diza tadi, bukan yang diduduki Pak Andi.

"Hai.." Diza udah heboh sendiri, tapi Ranggih cuma merespons dengan satu kata.

"Ya ampun, mimpi apa gue semalam? Sampe bisa ketemu Ranggih secara langsung kayak gini. Gue nge-fans banget sama lo, Ranggih. Boleh minta foto? Ran, ambilin foto gue sama Ranggih! Omaigat, omaigat. Kiran, cepatan!"

"Lo kira gue babu lo." Aku meletakkan ponsel Diza ke atas meja.

"Ya Allah, Kiran. Please.. Gue minta tolong ini, bukan nyuruh lo. Please, ya. Please.. Kapan lagi gue bisa foto bareng sama Ranggih coba."

Karena Diza menggunakan kata tolong, baiklah, akan kulakukan. Tapi kalau perintah, maaf maaf saja ya.

"Oh ya, gue Diza. Temannya Kiran." Dengan sok centil, Diza memperkenalkan dirinya pada Ranggih. Ranggih kelihatan baik-baik saja menghadapi tipe perempuan heboh seperti Diza ini. Ah ya, aku lupa jika dia pun setipe dengan Diza.

"Well, Diza. Gue boleh dong pinjam teman lo yang cemberut ini sebentar."

"Kenapa nggak ngomong di sini aja?" Diza kelihatan tak senang mendengar ucapan Ranggih.

"Nggak mungkin dong gue bahas masalah ranjang di depan lo."

"Ranggih, apaan sih lo." Dan aku langsung menariknya cepat keluar dari restoran.

***

"Kenapa nggak ngobrol di mobil gue aja? Kaca mobil gue lebih gelap. Nggak bakal kelihatan kalau-kalau lo beneran mau nyium gue."

"Sinting lo." Dia malah tertawa puas. "Mau gue tabok lagi pake tas gue?"

"Oke, oke. Kali ini gue serius. Ehem, gue dengar lo kemarin ketemu tante gue?"

Aku bersyukur karena ternyata, wanita paruh baya yang bersama Si Micin itu bukan ibu Ranggih, melainkan tante Ranggih. "Hm.." gumamku malas.

"Lo ngaku kita pacaran di depan tante gue kan?"

"Gue terpaksa," ujarku membela diri. "Kemarin itu ada Si Micin."

"Maksud lo Sasha?"

"Iya. Gayanya songong banget cuma mau memastikan gue pacar lo atau bukan. Ya sekalian gue iya-in aja lah, biar bete tuh anak. Kesel gue lihatnya."

(Not) A Big Deal (Selesai ✔)Where stories live. Discover now