Tante?

11.7K 1.5K 21
                                    

Ranggih menepati janjinya dengan datang menjemputku. Dan seperti yang sudah kutebak, Diza menjadi yang paling heboh begitu melihat Ranggih masuk dan duduk di kursi tunggu. Jika bukan karena kutahan, dia sudah pasti menjerit histeris saat melihat Ranggih.

Ranggih melambaikan tangannya, entah menyapaku atau Diza, aku tidak begitu peduli sebenarnya. Namun karena Pak Andi juga ada di sana, aku terpaksa membalas lambaian tangannya sambil tersenyum semanis mungkin.

Kulihat Pak Andi memandang Ranggih tak suka. Apalagi karena Ranggih dengan penuh percaya diri, duduk santai meladeni beberapa orang yang mengenalinya dan mengajak foto bersama.

Namun, ada satu hal yang tidak kuperkirakan sebelumnya. Ketika security mendatangi Ranggih dan menanyakan keperluan lelaki itu, dengan penuh percaya diri Ranggih menjawab jika ia sedang menungguku yang ia akui sebagai kekasihnya selesai bekerja.

"Ya mana gue tahu satpam bakal nanya-nanya ke gue," jawabnya tak acuh ketika kutanya mengapa dia memberi alasan seperti itu pada Pak Timo.

"Lo kan bisa nggak pake nyebut nama gue, Ranggih," keluhku. Pasalnya Ranggih menyebutkan namaku dengan cukup keras.

"Gue cuma ngikuti aturan main yang lo bikin. Mau bandot itu segera menyingkir kan? Ya udah, lo ikuti aja skenario yang gue buat. Sesuai sama yang lo minta kok."

"Tapi gue nggak minta lo ngomong sesumbar di depan orang banyak."

"Apakah pengakuan gue tadi jadi masalah besar?"

"Jelas lah," jawabku keras.

Dia yang membuat masalah, tapi aku yang harus menyelesaikannya. Sudah pasti besok akan ada banyak orang yang mengintrogasiku mengenai pengakuan Ranggih tersebut. Sebelum itu, Yasmine pasti akan lebih dahulu melakukannya. "Mau ke mana?" tanyaku menyadari jalan yang dipilih Ranggih, bukan jalan menuju rumahku.

"Temani gue nyari kado. Lo kan udah janji mau datang temani gue ke acara ulang tahun sepupu gue."

"Harus banget nyari kado malam-malam begini?"

"Emang lo punya waktu luang saat siang? Enggak kan?"

"Memangnya gue wajib ikut nyari kadonya?"

"Wajib lah," jawabnya ngotot. "Gue nggak ngerti harus ngasih kado apa ke anak cewek."

"Umur berapa?"

"Delapan." Ranggih membelokkan mobil memasuki kawasan mall. "Biasanya kalau dia ulang tahun, gue bawa dia jalan atau main ke timezone. Tapi tahun ini dia nggak mau diajak ke timezone lagi. Katanya dia bukan anak kecil lagi."

Aku hanya mengangguk. Anak Teh Risma, juga seperti itu. Kevan sekarang sudah mau masuk SMA, jadi wajar kalau dia menolak diajak main ke timezone yang menurut dia wasting time. "Dia sukanya mainan apa?"

"Mainannya di rumah kebanyakan barbie. Menurut lo, beliin barbie jangan?"

"Kalau di rumah udah banyak mainan barbie, ngapain beli barbie juga? Beli yang lain aja lah. Biar mainan dia nggak itu itu aja. Udah yuk turun."

"Tunggu." Ranggih menahan tanganku saat aku sudah akan membuka pintu mobil. "Mobil hitam di sana kayaknya ngikuti mobil kita." Ranggih menunjuk ke satu arah tempat beberapa mobil hitam terparkir rapi.

"Mobil yang mana? Hitam semua itu."

"Gue curiga itu mobil calon laki lo, Ran."

"Sembarangan lo. Gue nggak punya calon suami."

"Iya, sorry." Dia terkekeh kecil, membuatku kesal dan nyaris memukulkan tas tanganku ke badannya. "Kita harus akting lagi, Ran. Ya... kecuali lo mau bandot itu sadar kalau kita cuma pura-pura."

(Not) A Big Deal (Selesai ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang