Sakit

12.1K 1.6K 39
                                    

Aktivitas harianku kembali seperti semula. Bangun tidur, mandi, bersiap ke kantor, sarapan pagi, lalu ke kantor untuk bekerja, pulang, baca wattpad, tidur, dan terus melakukan siklus yang sama secara berulang.

Seminggu berlalu, aku belum mendengar kabar dari Ranggih. Kami memang sudah menepati janji masing-masing. Dan sebenarnya, aku memang tidak membutuhkan bantuannya lagi untuk saat ini. Toh aku hanya membutuhkannya menjadi pacar pura-puraku saat di depan Pak Andi saja.

Aku bukan mencarinya, bukan juga merindukannya, aku cuma merasa ada yang aneh darinya hanya karena mendengar pernyataan Pak Andi.

Malam itu, dia mendadak bisu. Dia tetap mengantarkanku pulang dengan mobilnya. Tapi biasanya, ada saja bahan omongannya di dalam mobil. Entah itu mengagung-agungkan jumlah followers-nya, atau menanyakan hal remeh yang tidak terlalu penting. Seperti misalnya apakah aku menyukai aroma pengharum mobilnya? Atau apakah di mobilnya perlu dipasang wifi? Atau pertanyaan-pertanyaan lain yang kupikir tidak ada hubungannya denganku.

Dia hanya pamit pulang dan mengucapkan selamat malam. Tak jadi mampir mencari makan seperti yang ia katakan saat di pesta malam itu. Kemudian ia pergi dan tidak lagi muncul sampai sekarang.

"Kesimpulannya cuma satu. Lo kangen sama dia."

Aku mencebik mendengar apa yang dikatakan Raline. "Enggaklah. Ngapain gue kangen sama dia."

"Terus aja lo tampik, Ran. Semakin lo menampik perasaan lo, semakin nggak terbendung nanti."

"Sungai kali dibendung."

Raline berdecak gemas. "Lagian nggak ada salahnya kalau lo kangen sama si Ranggih itu kan? Lo jomlo, dia juga jomlo. Dia cakep, dan lo juga nggak jelek. Lo sama dia kalau dipasangin, nggak bakalan jadi Handsome and The Beast."

Nimas tertawa sambil mengusap perut bundarnya. "Kalau dipikir-pikir lucu juga ya. Lo sama dia bisa ketemu cuma karena permintaan konyol gue. Eh, malah keterusan sampai sekarang. Kita emang nggak tahu gimana cara kerja Tuhan mengatur jodoh."

"Jadi ibu tiga anak nggak berarti bikin lo bisa meramal jodoh orang kan, Nim?" tanyaku setengah kesal.

"Lo nggak mau berjodoh sama dia? Cakep plus tajir kayak gitu lo tolak? Jangan nyesal lo kalau entar malah dapat yang nggak cakep tapi sok kecakepan."

Kami sedang berkumpul di rumah Nimas saat ini. Awalnya sahabatku itu memintaku dan Raline datang ke kediamannya untuk membantu mempersiapkan keperluan-keperluan acara syukuran tujuh bulanannya. Padahal ini sudah anak ketiga, seharusnya Nimas sudah khatam dengan segala persiapan untuk acaranya yang akan digelar lusa. Aku sudah bilang tidak bisa datang karena harus bekerja.

Dan memang tidak banyak yang aku dan Raline lakukan. Nimas hanya meminta beberapa pendapat kami saat melakukan diskusi dengan EO yang seharusnya dilakukan Nimas bersama Randa. Randa menyerahkan semua pada Nimas, alasan lain karena sekarang suami Nimas sedang berada di luar kota. Baru akan kembali esok hari.

"Sekalian temani gue belanja ya," pinta Nimas tiba-tiba.

"Kenapa nggak pake punya kakak-kakaknya aja, Nim?" tanyaku mengingat usia Foza baru dua tahun. Pakaian bayinya tentu masih ada dan bisa dipakai untuk adiknya nanti.

"Yang ini kan cewek, Ran. Masa pake punya abangnya? Beli baru dong. Kemarin itu udah sempat beli beberapa sama Randa. Tapi ya karena nggak ada Randa, kalian yang harus temani gue."

"Tunggu Randa pulang."

"Randa nggak ngerti aksesoris anak cewek. Males gue. Nggak mungkin juga gue pergi sendiri kan? Repot bawa Foya sama Foza."

"Makanya gue nggak mau jarak kelahiran anak gue deketan," celetuk Raline.

"Ya kan biar capeknya sekalian. Kecil sama-sama, tahu tahu entar mereka udah gedenya barengan gitu. Emang lo mau kayak nyokap lo? Lo-nya udah siap bikin anak, nyokap lo baru nambah anak."

(Not) A Big Deal (Selesai ✔)Where stories live. Discover now