Kahfi dan.. Diza?

11.6K 1.6K 68
                                    

Ternyata kejadian kemarin malam, saat Pak Andi tiba-tiba mendatangi mejaku sudah diketahui Diza sebelumnya. Dia baru saja mengakui beberapa saat yang lalu, bahwa sebenarnya perutnya baik-baik saja malam itu. Mulas hanya dijadikannya alasan untuk menghindari Pak Andi.

"Seharusnya lo kasih tahu gue, Za. Bukannya malah kabur menyelamatkan diri lo sendiri."

Pagi ini, entah kenapa seperti janjian, kami datang lebih awal. Jam operasional belum dimulai, masih tersisa lima belas menit lagi. Dan sekarang, kami sedang menikmati sarapan pagi di pantry.

"Kalau gue ngajakin lo, kelihatan banget lah kalau kita emang ngindarin dia. Gimana sih lo, Ran?"

"Dan menurut lo, ngumpanin gue adalah cara yang tepat?"

"Sorry." Dia menyesap teh-nya, meringis karena suhu teh yang masih panas. "Gue nggak kepikiran sama lo, Ran. Yang gue pikirin saat itu cuma gimana caranya menghindari Pak Andi sesegera mungkin."

"Memangnya kenapa? Biasanya lo nggak pernah kayak gitu kalau Pak Andi kemari."

Lalu mengalirlah cerita Diza, bahwa Pak Andi mulai melancarkan gelagat mendekati Diza. Kejadiannya seminggu yang lalu. Saat Pak Andi tak menampakkan batang hidungnya di kantor, ternyata diam-diam dia mendekati Diza. Sudah tiga kali Diza mendapati bapak tiga anak itu di sekitar rumahnya. Pertama kalinya, Diza coba percaya bahwa Pak Andi memang kebetulan melewati area tersebut. Namun kali kedua dan ketiga, tentu itu bukan lagi sebuah kebetulan.

"Lo kan tahu, Ran. Tipe gue itu yang tenang, menyejukkan di mata dan hati kayak Mas Kahfi. Dan gue nggak se-desperate itu cuma karena ditinggal nikah gebetan ya, Ran. Nggak dapat Mas Kahfi bukan berarti gue mau mau aja didekati suami orang."

Rasa kesalku jadi menguap, berganti dengan rasa kasihan mendengarnya. Cinta tak berbalas Diza yang mengingatkanku pada seseorang.

"Selamat pagi."

Dan seperti yang sudah-sudah, Diza mendadak diam setiap kali bertemu Mas Kahfi. Apalagi karena baru saja, namanya masuk dalam obrolan pagiku dan Diza.

***

Seperti dugaanku, Pak Andi tidak akan semudah itu melepaskanku. Mendengar Ranggih mengakuiku sebagai pacar, bukan berarti membuat Pak Andi mundur dan berhenti menggangguku. Justru dia semakin nekat.

Siang tadi saat jam istirahat, aku bisa menghindarinya yang datang menawarkan beberapa kotak makan siang untuk semua yang bekerja di kantor. Dari mulai security sampai Pak Dudit yang paling disegani di kantor, semua kebagian rata. Harus segera bergantian istirahat kujadikan alasan menghindarinya. Apalagi karena Mas Kahfi lagi-lagi menolongku. Memanggilku segera setelah aku merapikan riasan usai melaksanakan shalat zuhur. Sementara Pak Andi kulihat duduk tak jauh dari ruang mushala, menungguku.

Sekarang, saat jam pulang kantor, mobilnya masih terparkir rapi di parkiran.

"Laki-laki seperti apa yang membiarkan pacarnya pulang sendirian malam-malam begini."

Aku sangat mengerti maksud monolog-nya itu. Tapi lebih baik aku berpura-pura tidak mendengar dan mengabaikannya.

"Saya antar kamu pulang. Saya tidak akan membiarkan kamu pulang sendirian."

Jika Pak Andi sudah mengetahui di mana tempat tinggal Diza, hal yang sama tidak berlaku padaku. Beruntung aku tinggal di kompleks perumahan yang penjagaannya dikenal cukup ketat. Tamu asing dilarang masuk, sebelum tuan rumah yang dituju mengizinkan masuk saat security menghubungi pemilik rumah. "Saya bisa pulang sendiri, Pak. Terima kasih atas tawarannya."

"Saya ikuti mobil kamu dari belakang. Saya hanya ingin memastikan kamu tiba di rumah dengan selamat."

"Saya bukan anak kecil, Pak. Saya-"

(Not) A Big Deal (Selesai ✔)Where stories live. Discover now