bulan sabit

3.1K 432 114
                                    

Semua ini berawal dari kata-kataku di tengah perbincangan kami lewat panggilan suara di suatu malam:

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Semua ini berawal dari kata-kataku di tengah perbincangan kami lewat panggilan suara di suatu malam:

"Gue ada rencana mau ke Solo, belum tahu berapa hari, tapi mungkin lebih dari seminggu."

Kemudian, seolah dunia memang mengizinkan kami untuk bertemu, jadwal liburanku dan jadwal kesibukan kuliahnya tidak terbentur. Aku mengakhiri sesi telepon itu dengan ceria, senyumku masih mengembang bahkan sampai aku hendak tidur. Tidak sabar. Setahun sudah berlalu dan aku masih ingat hari terakhir kami memijak tanah dan mengirup udara yang sama. Setelah itu tidak ada lagi pertemuan; hanya pertukaran kata lewat ruang obrol virtual.

Dan sekarang, ketika kereta memelan lajunya hingga akhirnya berhenti, jantungku mengentak-entak dua kali lebih cepat dari langkahku yang lambat. Suasana stasiun Jogja begitu asing, tapi entah mengapa menyapaku seperti sobat lama. Aku mengikuti arus penumpang menuju pintu keluar.

Beberapa hari yang lalu aku memang mendarat di Solo, kemudian aku memutuskan ingin mengunjungi kota yang sudah setahun ini kembali menjaganya. Ketika aku tadi masih berada di kereta, lelaki itu sempat memberitahu letak posisi ia akan menunggu. Aku sempat kebingungan saat mencapai pagar luar, tapi setelah bertanya kepada seorang bapak-bapak, tidak butuh waktu lama untuk menemukannya.

Ia tengah berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jaket. Sesekali ia mengeluarkan tangan kiri untuk mengecek jam di pergelangan. Aku menyentuh dada, merasakan dentuman yang begitu kentara. Tenang, Gita. Kamu tinggal berjalan mendekatinya, lalu menyapanya. Simpel, bukan?

... namun, rasanya semua kata yang kupunya bersembunyi hingga aku kebingungan menata kalimat.

"Kak...."

Jadi, hanya itu.

Sebuah cicitan serak yang sangat pelan tapi cukup membuatnya menoleh. Kedua matanya melebar sedikit, tapi bibirnya lantas melengkung lebar. Aku ikut tersenyum. Ia pun merengsek maju dan membungkusku dengan pelukannya.

Detik itu, sekitarku seperti membisu dan satu-satunya suara yang kudengar adalah detak jantungku sendiri. Pelukan itu tidak lama, barangkali sepanjang lima kali hela napas.

"Eh, maaf, lo pasti kaget," ucapnya begitu ia menjauhkan diri. "Gue takut ini cuma mimpi."

Yang barusan itu adalah pelukan kedua kami. Kali pertama terjadi saat pertemuan terakhir setahun yang lalu. Tentu, aku belum terbiasa.

"Gue juga takut ini mimpi," balasku. Tapi mengingat rasanya aku ingin meledak di tempat, rasanya ini nyata.

Tangannya yang sedari tadi beristirahat di bahuku berpindah ke puncak kepalaku dan mengacak-acaknya pelan. "Kalau ini mimpi, seenggaknya mimpinya indah. Hm, enaknya kita ke mana dulu? Lo udah sarapan?"

Aku menggeleng.

"So, shall we?"

.

.

.

Waktu bergulir begitu cepat.

Tiba-tiba saja, kami sudah berakhir di perempatan ramai yang mereka sebut sebagai Titik Nol Kilometer. Langit sudah perlahan berubah warna, yang tadinya biru cerah kini ditambah dengan gradasi oranye. Kami duduk di sebuah bangku yang sudah tersedia sambil menikmati hiruk-pikuk lalu-lalang orang dan kendaraan.

Klik klik.

Aku menoleh. Kak Gadang tengah sibuk dengan kameranya. Lalu ia memperlihatkan layarnya padaku. "Cantik," ujarnya.

Aku cemberut menanggapinya. Foto yang Kak Gadang tunjukkan adalah potret diriku dari samping, berlatarkan warna langit yang indah. Kupikir hari ini ia terlalu banyak memotretku diam-diam.

Melihat responsku, ia tertawa. "Ini kenang-kenangan buat kamu."

Aku terpaku. Kamu, katanya.

"Sori, kebawa kebiasaan ngomong di sini," jelasnya langsung.

Aku tersenyum kikuk.

Kami berdiam diri setelah itu.

"Git, udah jam segini. Ke stasiun, yuk?"

Dan ajakan itu tanda bahwa kami semakin dekat dengan perpisahan. Aku mengiakan. Aku dibawa kembali menyusuri jalanan-jalanan asing yang menarik untuk kuperhatikan. Hari sudah mulai menggelap. Lampu-lampu telah dinyalakan. Kalau aku harus mendeskripsikan Jogja, jujur saja aku belum tahu harus mengatakan apa. Tapi kalau dalam ingatanku, Jogja tidak akan lengkap tanpa sosoknya.

"Take care."

"Makasih buat hari ini, Kak. Maaf kalau gue ngerepotin."

"Maaf juga kalau gue payah jadi tour guide."

Aku terkekeh. "Nggak, kok. Gue ... seneng banget hari ini."

"Gue juga."

"So ... see you, then?"

"See you soon."

Aku mundur beberapa langkah pendek, sebelum berbalik.

"Ragita."

Aku berhenti. Lalu berputar. "Iya?"

Kak Gadang memamerkan senyum sabitnya. "Kalau udah sampe, kabarin aku, ya?"

crescent.

══════════

❛❛Mantra apa yang entah istimewa,
izinkan aku pulang ke kotamu,
kupercaya selalu ada sesuatu
di Jogja.❜❜

─ Adhitia Sofyan, 'Sesuatu di Jogja'.

══════════

notes:

This time is a real goodbye.

:(

I'll miss them a lot.

*

Jangan lupa baca twinkles. (setipe sama crescent!)

 (setipe sama crescent!)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
crescent.Where stories live. Discover now