12

475 38 14
                                    

"Kau sibuk hari ini?" Di sela-sela perbincanganku dengan Renold muncul notifikasi pesan dari Sera. Aku membukanya dan tak ada pesan atau tambahan keterangan apa pun selain pertanyaan itu sebagai satu-satunya pesan. Aku bersikap biasa saja, kupikir Renold tidak perlu tahu.

"Kurasa kau salah bertanya, kapan aku sibuk?" aku membalas pesannya.

"Kalau begitu kau perlu seseorang yang mengacaukan santai-santaimu. Nah, Key, akulah orangnya. Hari ini aku sedang ingin makan pempek dan bukan ide yang baik kalau aku makan sendiri. Aku tidak kenal orang lain yang lebih lahap makan pempek selain Key Si Manusia Pemakan Segala."

"Baiklah, kebetulan aku masih punya indera ke-13, aku sengaja tidak memangsa apa pun sejak pagi. Dan tentu saja beberapa hal bisa kutunda. Maksudku, aku bisa menambah kesibukkanku dengan sengaja menunda pekerjaan demi seseorang yang sedang sakau makan pempek," aku berbicara seolah benar-benar sedang ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan pada kenyataannya aku tidak pernah terlalu sibuk untuk Sera. Aku tidak kegirangan mendapati ajakan dari seseorang yang sudah tiga minggu menghilang. Tidak senang, tidak juga merasa risi.

"Oke. Setelah Isya, ya."

Tanpa membalas pesannya lagi aku menyimpan ponselku. Melanjutkan kembali pembicaraanku dengan Renold yang sejak awal memang sudah ngawur. Masih sekitar 2 setengah jam lagi sampai aku menjemput Sera dan aku tidak berpikir untuk bersikap terlalu semangat. Aku telah lama melatih diri untuk biasa saja. Terlebih memang pada kenyataannya tidak ada perasaan lebih yang mesti kurasakan. Aku sudah sepantasnya memasang sikap atau menempatkan diri sebagai seorang teman. Dari lama pun sudah begini. Aku tidak ingin berpikir yang bukan-bukan, karenanya aku tidak memikirkan apa pun. Aku tidak menebak-nebak tentang apa yang sedang Sera pikirkan sampai tiba-tiba menghubungiku setelah cukup lama menghilang. Aku menganggapnya biasa saja, sebab memang Sera selalu seperti ini. Mungkin orang lain tidak akan mudah percaya tapi saat Sera berkata bahwa dia sedang ingin makan pempek, aku bisa percaya bahwa hanya itu yang ingin dia lakukan.

Terkesan egois, tetapi bagi orang yang sudah terbiasa melakukannya ini benar-benar biasa saja. Tidak ada pikiran aneh. Tidak ada harapan lebih. Aku pun memang suka pempek. Terlebih sebenarnya sejauh ini aku tidak ada masalah apa pun dengan makanan yang pernah aku makan. Aku makan apa pun yang aku suka. Dan saat Sera mengajakku makan pempek, tentu aku tidak akan menolak, bukan?

***

Tiba juga waktu adzan Isya berkumandang. HP-ku mengingatkan. Setidaknya HP ini masih memiliki fungsi selain berbalas pesan dengan lawan jenis, yang tanpa perlu dipikir-pikir pun memang selain pekerjaan dan teman-teman, aku sama sekali sedang tidak chatingan dengan perempuan mana pun yang bisa kusebut sebagai gebetan atau PDKT-an. Setelah dengan Sera bukan berarti aku benar-benar tidak dekat dengan siapa pun. Aku pernah dekat dengan beberapa dan banyak di antaranya yang baik-baik, cantik-cantik. Tapi, aku tidak merasa perlu melanjutkan kedekatan ke hubungan yang lebih. Aku benar-benar tidak berselera untuk melakukannya. Mungkin itu sebabnya banyak perempuan yang datang memilih pergi dan tidak sedikit yang menobatku sebagai lelaki sombong yang tidak tahu diri dan pemberi harapan palsu. Aku tidak pernah menyalahkan mereka dan kupikir aku tidak perlu menyalahkan diri sendiri untuk selebihnya. Karena memang sejak awal mereka yang datang, aku hanya sempat berpikir bahwa mungkin aku bisa sedikit memberi ruang. Namun pada kenyataannya aku masih belum bisa. Setiap dekat dengan seseorang, entah itu setelah kita bertemu ataupun hanya sekadar berbalas pesan, selalu ada perasaan ogah untuk benar-benar melanjutkannya. Bahkan tidak sekali juga aku dekat dengan seseorang yang setelah diselidiki lebih lanjut ternyata masih jadi pacar orang. Yang paling lucu dari semua itu adalah, banyak orang-orang yang datang seperti menawarkan kesempatan tetapi kemudian tiba-tiba memasang foto laki-laki lain di akun-akun pribadinya. Aku tidak marah. Kadang hanya tertawa dan kupikir, ya sudahlah.

Aku bergegas mengambil wudhu dan seperti biasa, bersama kawan-kawanku yang kadang brengsek kadang idaman, kita shalat berjamaah di masjid. Walau hanya ada Renold dan Hanand. Ariel sedang entah ke mana. Dia selalu punya acaranya sendiri dengan pacarnya.

"Kau yang adzan tadi, Key?" selepas shalat, di depan masjid Hanand bertanya.

"Tidaklah, Han. Kau tidak dengar tadi yang adzan kan Kakek Afan. Suaraku masih terlalu macho untuk disamakan dengan suara Kakek baik hati yang tidak pernah lekang pergi ke masjid itu, Han!"

"Dia tadi sedang main piano dan kupikir sekarang kupingnya benar-benar bermasalah," Renold menyambung.

"Han cobalah sesekali kau yang adzan. Di zaman ini sudah semakin jarang pemuda yang adzan di masjid. Seperti tugas itu hanya dikhususkan untuk seorang Kakek-kakek tua saja," aku membalas sambil merangkul pundak Hanand.

"Waktu kecil aku sering adzan, Key. Dan aku benar-benar merasa telah dianugerahi suara yang terlalu enak didengar. Kau tahu? Aku kan tidak termasuk pemuda kurang tahu diri yang banyak menipu orang tuanya sendiri untuk mendatangi club malam ketimbang masjid. Aku juga kenal dengan orang yang menghabiskan uang semesternya demi bisa nyanyi tidak jelas sambil mabuk-mabukan. Tapi, soal adzan, nanti aku akan negosiasi dengan Kakek Afan. Kau mungkin tidak tahu, Key, mungkin dengan menjadi Muadzin, Kakek Afan sedang berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya amal untuk dibawanya pulang nanti," dengan wajah yang terkesan sedang mengasihani sesuatu Hanand berusaha menjawab namun sekaligus mengingatkan.

"Wow! Ceramah dari Kiai Hanand ini, Bung!" Renold menyambung sambil beberapa kali bertepuk tangan dengan kepala yang digeleng-gelengkan.

Hanand sebenarnya punya banyak bakat selain mengadu terhadap Ibunya soal perutnya yang kelaparan atau bensin mobilnya yang tidak sempat diisi karena tanpa sadar uang sakunya habis dikuras perempuan. Dia selalu percaya diri untuk meneriakkan sesuatu yang benar di muka umum. Dan salah satu syarat menjadi penceramah mungkin Hanand sudah memilikinya.

Sesampainya di kosan aku melipat sarung dan peci di meja kamar, tempat aku biasa menaruhnya. Karena pada dasarnya aku sering lupa menaruh benda ataupun barang-barang. Bahkan aku pernah lupa menaruh HP-ku sendiri yang setelah lama kucari-cari, aku benar-benar menemukannya di kantongku sendiri.

Aku berganti baju. Mengenakan celana jeans hitam yang aku pikir cuma aku yang memilikinya. Karena memang secara keseluruhan aku tidak pernah punya celana yang kubeli langsung, maksudku, celana-celanaku biasanya kubuat sendiri ke Tukang Jahit. Karena di mall-mall atau di toko pakaian aku benar-benar menyerah mencari ukuran celana yang pas. Mencari ukuran pakaian yang pas dengan mengelilingi mall itu benar-benar merepotkan. Dan aku tidak pernah menyukai hal-hal yang merepotkan.

Aku memakai baju kaos hitam polos, disusul dengan sweater abu-abu. Kupakai sepatu converse putih yang kubeli murah dari seorang kenalan yang sedang mabuk dan dia kehabisan uang untuk membeli makan hewan peliharaan di rumahnya yang ia beri nama Jonson. Aku tidak tahu Jonson itu apa dan aku pun tidak merasa perlu mengetahuinya.

Aku mengambil kunci motor dan memutuskan berangkat sebelum Sera memberi kabar dan benar-benar murka karena harus menunggu lebih lama. Aku tidak merasa sanggup mengontrol amukan dari perempuan yang sedang sakau dengan makanan. Sudah sangat mengerikan seorang perempuan dibuat menunggu, apa lagi soal makanan. Harus waspada!

Dan kupikir Sera masih menjadi seseorang yang tidak suka menunggu lama.

_____

Alhamdulillah :)

Bacalah, berkenanlah

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikWhere stories live. Discover now