24

181 23 2
                                    

Langit masih mendung, sementara hujan tak juga turun. Selabintana sudah terlewat jauh, motor yang dipacu sepelan mungkin tak terasa sudah sampai di area perkotaan. Kita ada di Jl. Bhayangkara, sebentar lagi sampai di rumah Sera.

Aku tidak ingin mengajaknya pergi jalan-jalan lagi, karena toh Sera pun meminta untuk pulang, entah kenapa, tumben sekali. Biasanya dia suka ingin terlambat pulang jika denganku. Ah, tapi aku tidak ambil pusing, lagi pula aku merasa sudah cukup senang untuk hari ini. Bersamanya sudah membuatku tersenyum berkali-kali. Ada banyak terima kasih yang ingin aku sampaikan, tentu saja tadi di perjalanan sudah beberapa kali aku bilang. Kalau terus-terusan berterima kasih jadi payah nantinya. Pikirku.

Di depan sana terlihat belokan ke rumah Sera. Dari belokan hanya butuh sekitar 100 meter lagi untuk sampai di rumahnya. Aku semakin melambatkan motor, agar aku bisa lebih lama lagi bersamanya. Sera pun tanpa protes, dia hanya sesekali menunduk, mungkin sedang cek HP-nya.

"Dah mau sampe," Aku membuka obrolan lagi.

"Iya, cepet banget,"

"Apa kita muter lagi aja ke Selabintana? hahaha"

"Jangan, dong. Aku ada urusan." Dia juga tertawa.

Aku belok kiri, dan terlihatlah rumah Sera. Di depan rumahnya sudah ada terparkir mobil Innova, aku sama sekali tidak ingat itu mobil siapa. Karena kalau mobil abangnya itu sedan, aku malah tidak tahu itu sedan apa.

Baru saja aku berhenti di depan gerbang, Sera turun, dan dari dalam pagar keluar sosok laki-laki yang sialnya aku pun mengenali wajahnya. Itu Bara, pacar Sera!

Aku lumayan kaget, tetapi tidak takut, selain khawatir Sera akan disalahkan. Di dalam pikiranku, aku khawatir Sera akan kena imbasnya. Sedangkan Sera buru-buru melepas helm dan memberikannya padaku. Tanpa menyodorkan kepala seperti biasanya. Aku menerimanya dengan santai.

"Dari mana?" Bara bertanya kepada Sera.

"Emm habissssss dari Selabintana, kamu kapan ada di sini?" Sera menjawab dengan sedikit gemetar, entah apa yang sedang dia rasakan. Mungkin takut. Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Hanya terpaku ke arah Bara.

Tiba-tiba Bara berkata, cukup tinggi, "Udah ya, jangan ganggu pacar saya lagi!" Dia terlihat menahan marah. Aku juga.

Mendengar si bangsat ini bilang begitu aku sebenarnya ingin berkata bahwa dia yang ganggu pacar saya pada awalnya. Terpikir bahwa dari awal, akulah yang bersama Sera. Dia yang datang di tengah perjalanan dan begitu saja merenggut Sera dari genggaman. 

Di sisi lain harus diakui bahwa Bara usianya 3 tahun di atasku. Dia cukup dewasa dan baik. Aku pernah mengawasinya dari Instagram. Dia pandai mengaji. Dan sialnya, dia orang berada. Lagi pula Sera bukan perempuan yang akan menerima lelaki sembarangan.

"Pacar saya?" Aku mengulangi omongannya. Sambil masih memaksa diri untuk tertawa, meski jantung sudah terpacu.

"Key, seperti yang kau lihat, dia sudah jadi pacar saya. TOLONG JANGAN GANGGU LAGI!" Masih dengan nada tegas tapi terdengar seperti tidak ingin melewati batas. Dia memang orang yang cukup baik dalam bersikap.

Sementara Sera hanya berdiri dan berusaha menarik-narik Bara, "Ayok, ayok, masuk, udah jangan dilanjut, ya, please!"

"Mungpung ketemu di sini, dan mungpung aku ada di sini. Key kalau memang merasa jadi laki-laki, tolong sadar diri."

Tiba-tiba jantungku semakin terpicu. Aku gemetar dan marah. Tapi di sisi lain aku malah mengasihani diriku sendiri. Aku merasa minder berada di sini. Aku malah membanding-bandingkan diriku sendiri dengan si brengsek ini. Kulihat dia ke sini pakai mobil, aku teringat dia orang yang mapan, serta harus kukui dia orang baik. Sedangkan aku begini. Cuma punya motor butut dan masalah-masalah lain yang menjadikanku semakin merasa kecil.

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz