14

370 30 6
                                    

"Mas, bikin 2 porsi, ya. Kapal selam, lenjer, dan sisanya terserah. Oiya, yang satu rada ditambah airnya, oke,"

"Oke, Mba... Minumnya enggak?"

"Eh--lupa, es jeruknya 1, ya,"

"Untuk pacarnya?"

"Dia lebih senang minum air putih, Mas. Tapi kalau ada jus alpukat boleh." Sera memilih untuk menutup kemungkinan pembicaraan menjadi lebih panjang dan tidak menyangkal pertanyaan Mas Pempek dengan mengakui bahwa aku bukanlah pacarnya. Sera tahu bahwa menjelaskan hubungan kita ke Mas Pempek adalah tindakan yang tidak perlu.

"Oke," Mas Pempek terlihat langsung menggoreng pempek yang Sera pesan.

Setelah Sera memesan dia kembali duduk di depanku, di meja paling sudut yang agak jauh dari penggorengan. Dari perkataan Sera saat memesan tadi, aku bisa tahu bahwa dia masih ingat apa-apa yang menjadi kesukaanku. Dia meminta air pempek ditambah, aku suka air pempek. Dan juga dia masih ingat bahwa aku lebih suka minum air putih, kalau jus palingan jus alpukat.

"Key, masih suka air pempek, kan?" Sera bertanya seakan ingin memastikan bahwa ingatannya masih bekerja dengan baik.

"Masih," dia hanya tidak tahu bahwa selain masih menyukai air pempek, aku pun masih menyukainya.

"Baguslah, air pempeknya sudah kuminta ditambahi. Kalau kau sudah berhenti menyukai air pempek kan jadi merepotkan, mubadzir itu tindakan yang jarang dilakukan orang-orang yang tahu bagaimana cara menggunakan otaknya dengan baik,"

"Emmm biar kuingat-ingat lagi, air pempek sampai sekarang belum pernah melakukan kesalahan apa-apa, jadi, aku masih menyukainya,"

"Key, kau tidak benar-benar menyukainya seperti menyukai perempuan, kan? Air pempek itu laki-laki loh!"

"Dia perempuan."

"Laki-laki, Key, jenis kelaminnya laki-laki."

"Aku agak ragu sih air pempek bergender, tapi kalau dia punya kelamin, aku percaya kelaminnya adalah kelamin ajaib."

"Bhahaha.. ajaib?"

"Ya, ajaib. Jenis kelamin yang bisa menyesuaikan, tergantung yang meminumnya. Dan aku sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau air pempek punya titit. Kau ternyata masih stress, Sera."

"Stress atau tidaknya itu jangan dilihat dari matamu sendiri, Key. Di dunia ini kau harus punya banyak mata. Melihat segala sesuatu dari satu arah itu salah satu bentuk dari ketidakadilan. Aku pikir kau orang yang percaya bahwa keadilan harus tetap ditegakkan, Key."

"Dan kalau tidak menganggapmu gila adalah bentuk dari suatu keadilan maka saat ini aku bukan orang yang sedang ada di pikiranmu, Sera."

"Bhahaha.. dari dulu kau selalu menganggapku gila. Kau tahu, Key? Hanya orang gila yang menyukai orang gila."

"Yeah, tapi mungkin tidak begitu tepatnya. Menurutku hanya orang waras yang bisa menyukai orang gila. Orang gila itu tidak bisa menyukai siapa-siapa, Sera. Dia hanya bisa menyukai dirinya sendiri. Kecuali orang gila yang pura-pura waras. Dan aku tidak mengartikanmu sebagai orang gila yang kehilangan akal sehat, maksudku, kau gila sebagai dirimu sendiri. Seperti sudah gila dari lahir."

"Aku tahu, Key, aku tahu. Ternyata aku masih menyukai kalimat-kalimatmu."

"Kalimat yang tidak lagi berharap bisa disukaimu sebenarnya."

"Oh--ayolah, jangan hukum kalimatmu dengan kesalahan yang kau buat sendiri. Kupikir itu dua hal yang sudah sangat jauh berbeda sekarang."

"Ahaha.. iyakah? Kalau begitu kau boleh tetap menyukai kalimatku sesukamu,"

"Yeah, tentu. Memang itu yang sedang kulakukan."

"Sangat jarang mendengarmu bicara jujur."

"Beberapa keadaan bisa membuatmu melakukan hal di luar kebiasaan, Key. Jangan lupakan itu. Dan sebenarnya kalau telingamu mau mendengar lebih, aku masih bisa berkata jujur lagi. Maksudku, aku bisa mengatakan sesuatu yang mungkin tidak bisa kau dengar dari perempuan yang sedang kau kencani setelah denganku."

"Perempuan yang mana? Bukankah ada enam belas perempuan lagi?"

"Semuanya!"

"Ahahah.. baiklah, jadi apa?"

"Aku-malu," bisa kulihat wajah Sera yang seketika memerah.

"Jadi itu, jujurnya?"

"Bukan sialan! Maksudku, aku malu mengatakannya."

"Sialan, dasar aku! Kalau begitu jangan dikatakan,"

"Aku kang---"

"Ini pesanannya, Mba. 2 porsi pempek. Kapal selam, lenjer, sisanya terserah. Oiya, yang satu sudah ditambahi airnya. Dan ini minumannya, es jeruk. Untuk masnya, jus alpukat. Selamat menikmati."

"Ah-iya-terima kasih, Mas, hehe.." Sera menjawab dengan wajah yang agak sedikit kesal. Mungkin karena Mas Pempek yang tiba-tiba datang merusak keberanian yang telah susah payah dia kumpulkan.

Sebenarnya Sera tidak benar-benar kesal. Dia tahu bahwa Mas Pempek hanya mengantarkan pesanan, melakukan tugas segabaimana mestinya. Dia hanya seperti kehilangan momen untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan. Mungkin.

"Aku kang-- apa tadi?" Aku melanjutkan pembicaraan.

"Aku, emm... aku--kangguru! AHAHA HAHA HA," dia menjawab pertanyaanku sambil tertawa, sambil minum, kemudian tertawa lagi.

"Ya, memang sih kalian mirip. Tapi, benar itu yang mau dikatakan?"

"Lupakan, Key, lupakan. Ayo makan dulu, pempek kalau lama didiamkan, dia akan ngambek."

"Aku suka pempek lagi ngambek."

"Pempek kalau sudah ngambek jadi tidak seksi, Key. Kau tetap suka?

"Ah, tidak juga. Ayo makan!"

***

Aku sebenarnya bisa sedikit menebak perkataan Sera yang terpotong tadi. Kupikir Sera tidak benar-benar ingin mengatakan "Kangguru." tetapi mungkin memang sebaiknya tidak kubahas lebih lanjut pembicaraan yang sudah telanjur terpatahkan. Aku tidak bisa bila menyengajakan diri untuk melalui batas lebih jauh lagi. Karena sebenarnya ada bebarapa waktu di mana aku merasa, bahwa masih berhubungan dengan Sera pun sudah merupakan kesalahan. Tetapi ada yang tidak sepakat dengan itu, di dalamku. Maksudku, bila dipikir-pikir lagi aku dan Sera memang sudah tidak memiliki suatu ikatan yang nyata. Terlebih dengan statusnya sekarang, kita sudah benar-benar berbatas.

Dan aku tidak merasa boleh melanggar keyakinanku dengan menipu diri sendiri, seperti mengedepankan perasaan dengan menganggap bahwa merebut kembali seseorang yang telah direbut adalah tindakan yang heroik. Aku tidak boleh sama saja. Terlebih Sera dariku tidak benar-benar diambil begitu saja, maksudku, kalau bukan karena kesalahan yang telah kubuat sendiri, mungkin Sera tidak akan benar-benar pergi.

Walau bisa saja kenyataan mematahkan segala pikiran baikku, misalnya, Sera benar-benar memilih menerima lelaki lain karena memang dia mencintainya. Tetapi segala kesalahan yang telanjur kubekaskan di hati Sera, tidak bisa kukubur begitu saja. Aku, atas apa yang telah kuperbuat, benar-benar merasa tak apa bila semua ini merupakan kenyataan yang mesti kuterima. Sebab tidak selamanya kebahagiaan Sera berada di tanganku.

Walau ingin rasanya mempertegas pembicaraan, untuk setidaknya bisa memastikan dan mendengar bahwa Sera benar-benar kangen, seketika ingatan tentang mengecewakan Sera muncul di benakku. Dan membuatku merasa tidak pantas bila akhirnya setelah dilukai, terlebih setelah dia dengan yang lain, Sera mengatakan kangen aku.

Entahlah, aku sama sekali tidak mengerti tentang mana yang benar dan mana yang salah. Sangat membingungkan. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah membiarkan semuanya berjalan begitu saja. Seperti arus sungai yang mengalir tanpa harus kuganggu alirannya. Kupikir biar sampai ke tempatnya ingin sampai saja, kisah ini.

__________

Alhamdulillah

Bacalah, berkenanlah :)

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang