18

188 26 0
                                    

Waktu menunjukan pukul sembilan malam. Dengan bertatap muka seakan saling mengerti tanpa mengatakan apa-apa, aku dan Sera berdiri.

"Hahaha, mau ke mana?" Aku bertanya.

"Pulang, kan?"

"Hahaha, baiklah," aku menghampiri Mas Pempek, "Berapa, Mas?" seketika Mas Pempek yang terlihat sudah mulai mengantuk menjawab, "40 ribu, Mas." Kami pun membayar lalu bergegas pulang.

Di tengah perjalanan tiba-tiba Sera menepuk pundak, "Eh--jangan dulu pulang, Key! Kita keliling dulu sebentar, siapa tahu di dekat-dekat sini sedang ada kejahatan." Jika waktu masih memungkinkan dan mamanya belum rewel nelpon-nelpon, Sera selalu minta jalan-jalan sebentar. Padahal dulu semasa sekolah, dia tidak boleh pulang ke rumah lebih dari jam 9 malam. Aku bisa menebak kenapa dia begitu dimanjakan oleh keluarganya. Sebenarnya mamanya Sera baik dan tidak terlihat suka marah tapi ketika aku telat mengantar Sera pulang ke rumah, biasanya mamanya mengancam dengan bilang begini, "Sera, pulang. Abang marah." Dan tentu saja aku merinding setiap kali membayangkannya, hahaha. Abangnya Sera cukup tinggi dan badannya besar, walaupun masih tidak lebih tinggi dari aku tapi tetap saja aku bukan tandingannya. Sekali jotos rontok ini gigi, wkwkwk.

"Memangnya kalau ada kejahatan kau mau apa?"

"Ya, aku ngumpet, lah. Kau yang turun tangan. Gimana, sih!"

"Hahhaa, curang! Baiklah ayok kita menyelamatkan peradaban berdua. Lesgoooww!" Aku tancap gas, kami pun berbelok mengambil jalan yang sedikit menjauh dari arah rumahnya Sera.

"Key, sialan! Jangan sok Rossi, ya! Pelan-pelan!!!" Sera ngomel-ngomel sambil mencubit punggung. Jurus andalan Sera kalau aku sengaja ngebut atau sudah mulai ngaco.

Seberapa pun ngebut, Sera tidak pernah memeluk. Dulu aku sempat meminta kalau ia berkenan, aku ingin dipeluk kalau sedang jalan-jalan berdua. Tapi dia bilang tidak suka. Ya, mau bagaimana lagi, hubungan kan bicara kesepakatan; menerima hal-hal yang tidak kita sukai bersama. Lagian apa pula berkendara harus selalu berpelukan? Meski terkadang ingin, pada akhirnya aku bisa memakluminya dan yang terpenting kita menghargai momen bersama-sama.

"Aw! Sakit-sakit, jangan kekencengan, dodol! Habis sudah punggung aku kalau dicubit terus" Aku berteriak sambil bergeser ke depan karena cubitannya Sera benar-benar kencang.

"Ya, makanya, pelan-pelan. Ada yang harus dinikmati dari jalan-jalan berdua malam-malam. Coba kau rasakan, angin itu benar-benar karya Tuhan yang ajaib. Kau bisa merasakannya meski tidak bisa menyentuhnya. Terkadang aku merasa aneh, tetapi lebih banyak mengaguminya."

"Benarkah? Sepertinya aku punya sesuatu yang lain, yang tidak bisa kusentuh tapi aku bisa merasakannya."

"Apa itu?"

"Entahlah, aku tidak merasa harus mengatakannya."

"Kau itu kenapa, sih? Selalu saja menyebalkan. Apa susahnya bilang? Dan pelan-pelan kubilang, aku sulit melihat sekitar kalau motornya kekencengan. Bagaimana kalau ada tindak kejahatan yang terlewat? Malang sekali, kau benar-benar tidak cocok jadi super hero!" Terlihat dari kaca spion, Sera sedang celingukan ke kiri ke kanan, seperti sedang menyelidiki keadaan sekitar. Bahkan aku sempat berpikir apa dia benar-benar mencari kejahatan? Tapi apa yang tidak mungkin bagi Sera? Perempuan aneh ini selalu bisa melakukan hal di luar dugaan. Bahkan dia bisa menggigit telingaku sambil mengatakan, "Emmm, enak!"

"Hahaha, iya-iya, gimana keadaan sekitar, Bouushh?!"

"Sejauh ini aman terkendali, prajurit! Tetap lanjutkan dan mari kita nikmati malam ini lebih jauh lagi. Mama juga belum nelpon, hihi"

"Laksanakan! Jadi bagaimana pempek malam ini? Enak?"

"Enak, sebelum akhirnya matamu itu jelalatan lihat cewek lain!" Terlihat dari kaca spion bibir Sera manyun.

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikWhere stories live. Discover now