vi.

5.4K 799 16
                                    

ring-ring.

"hei,"

"hey, there. udah nggak sakit lagi?"

"masih tepar sih, tapi sudah minum lemon hangat, jadi tenggorokanku masih aman, tidak sakit lagi."

"hmmm,"

"kenapa suaramu begitu?"

"memangnya suaraku harus bagaimana?"

"suaramu ini seperti sedang ingin tanya sesuatu,"

"memang,"

"oke, aku dengarkan,"

"kenapa kau menghubungiku?"

"memangnya kenapa?"

"dari semua orang, dari sekitar dua ratus alumni satu angkatan, kenapa kau menghubungiku?"

"karena aku memilihmu?"

"nonsens."

"aku tidak punya alasan khusus, jeongguk. serius. jika bukan kau, bisa siapa saja. mana aku tahu aku bakal memencet kontakmu terus kuhubungi?"

"kau pikir aku percaya kebetulan macam itu?"

"lantas kenyataan macam apa yang ingin kau dengar?"

"lalu kenapa kau menghubungi?"

"kenapa pertanyaanmu berat-berat sih? aku pusing,"

"jawab saja atau aku tidak akan mengangkat telpon darimu lagi,"

"toh aku bisa menelpon siapa saja. kau sendiri memangnya bisa tahan keingintahuanmu itu?"

". . ."

"halo? hei, kau marah?"

"betul,"

"hah?"

"aku kalah. kau menang."

"mmm?"

"kenapa kau menghubungi orang? tidak mesti aku, tapi kenapa?"

"kenapa tidak terima saja ini sebagai perbincangan singkat di tengah penat? jadi teman bicara masing-masing? kenapa kau jadi ingin tahu sekali sih?"

"kau sendiri kenapa keras kepala sekali tidak ingin memberi tahu?"

"woah, apa kau baru sadar bahwa ini percakapan paling panjang kita?"

"jangan mengalihkan pembicaraan,"

"alasanku konyol!"

"well, try me,"

"aku membaca buku, buku pengembangan diri. aku lupa halaman dan judulnya apa. disitu dibilang; kenapa kita selalu menghubungi orang yang dikenal? kenapa tidak coba membuka relasi baru untuk menghilangkan beban pikiran. logikanya, jika aku menelpon orang yang kukenal, aku menganggap orang itu tahu segalanya tentang aku. lantas aku curhat padanya tentang masalahku dan ujung-ujungnya membuatku teringat. jadi aku cuma ingin merefresh isi kepala."

". . ."

"hei, kau mendengarku tidak?"

"hmmm,"

"kenapa nadamu meledek begitu!?"

"tidak, aku cuma berpikir."

"ini konyol?"

"bukan, kurasa kau cukup punya nyali."

"kau orang kesekian yang bilang itu padaku. ah, tenggorokanku sakit lagi-uhuk! kau membuatku-uhuk-banyak bicara!"

"ya sudah, matikan saja. sampai nanti."

"iya, sampai nanti."

"dan, semoga cepat sembuh, benar-benar sembuh."

"of course!"

[ ] [ ] [ ]

ring-ring, hello? | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang