Asterik di Puncak [Narnia]

174 15 14
                                    

"Kau betul-betul tak ingat di mana meletakkannya?"

"Aku ingat-aku meletakkannya tepat di sana-di sebelah papan catur."

"Aku tak melihat apapun di sana, Ed."

Selagi dua saudaranya melanjutkan perdebatan dan sama-sama ngotot, Lucy berjalan mendekati meja di tengah ruangan, yang disebut-sebut dengan vas bunga lili dan seperangkat catur digelar di atasnya. Menurut Edmund, seharusnya ada sebentuk bintang jatuh di sana. Namun Susan benar-tak ada pertanda presensi benda itu-dan yang Edmund lakukan sekarang malah mondar-mandir panik di sekeliling ruangan.

"Tidak bisakah kau mengingat lagi?" tanya Susan, matanya mengekor gerak-gerik sang adik dengan sorot setengah jengkel.

"Aku tidak lupa, Sue," jawab Edmund, kini sibuk mengobrak-abrik isi lemari dan rak buku di satu sudut. "Mungkin dia lari ke suatu tempat."

Lucy tertawa, mengalihkan pandangan dari bidak catur menuju sosok kakak lelakinya. "Bintang itu sudah mati, Ed."

"Lucy benar, itu sebabnya dia dipasang di atas pohon natal-well, seharusnya."

"Siapa tahu?" Edmund bernapas cepat, selesai mengacaukan lemari beserta isi kepala, lantas bergantian menatap dua saudara perempuannya. "Siapa tahu dia hidup lagi, lalu melesat kembali ke langit?"

"Oh, Ed-" ucapan Susan terhenti oleh hela napasnya sendiri. "Jangan mencari pembelaan yang tak masuk akal. Inilah kenapa Peter ragu memberimu tanggung jawab," ujarnya setengah berbisik.

Terus terang, Lucy merasa sedikit kasihan (sekaligus khawatir) pada Edmund. Lucy memang tipe adik yang seperti itu, meski sering dibuat kesal oleh kakak yang kadang bisa keterlaluan itu-seketerlaluan menjual saudara-saudaranya pada Penyihir Putih demi Turkish Delight-Lucy rasa ia tak akan bisa membenci Edmund. Jangankan benci, melihat Susan yang mencecarnya tak sabaran dan membayangkan Peter yang barangkali bakal marah besar saja sudah membuat Lucy tak tega.

Untungnya, pikiran Edmund terlalu kacau hingga rungunya tak sempat mendengar sindiran kecil Susan (yang tergolong dapat menyakiti hati sekali dengar). Nahas, ketiga orang di ruangan itu pun sama-sama sibuk dengan benak masing-masing hingga tak menyadari sosok kakak tertua tengah mengamati dari ambang pintu, sedari tadi.

"Menurutmu Peter bakal marah?" tanya Edmund dari bawah meja.

"High King Peter akan menebasmu dengan pedang Rhindon-nya."

"Siapa yang bakal menebas siapa?"

Hening sebentar, disusul bunyi benturan dan suara Edmund yang mengaduh kesakitan. Lucy tak berani mengucap sepatah kata pun sementara Susan terkesiap takut-takut ia baru saja mengucapkan kalimat yang salah di situasi tidak tepat.

Di satu-satunya akses keluar-masuk ruang belajar King Edmund the Just, berdiri santai sesosok yang paling dihindari-tubuh bertumpu pada satu kaki dan bahu yang disandarkan di ambang pintu. Pakaian formalnya kali ini terlihat lebih merakyat, tanpa jubah beledu maupun warna mencolok. Namun mahkota yang terpasang di kepalanya cukup untuk menjelaskan semuanya. Lelaki itu adalah High King Peter-kakak tertua yang (mungkin) bakal meledakkan emosinya kapan saja.

"Kenapa kalian semua berkumpul di sini?" tanya Peter, mengalihkan topik pembicaraan walau belum dapat jawaban atas pertanyaannya tadi. "Bukannya mengambil bintang jatuh itu cuma tugas Ed?"

Susan menelan ludah kala menyadari tanda tanya berpadu percik emosi di manik Peter, yang-Puji Tuhan-bukan ditujukan padanya. Peter melayangkan pandang ke arah si 'penerima tugas', Edmund, yang menyembulkan setengah bagian kepalanya di tepi meja, tangan kanan terangkat mengusap tempurung kepala yang sempat terbentur barusan.

AbschiedWhere stories live. Discover now