Musim Panas Tahun 12 Taisho

119 10 2
                                    

Cafe-cafe bernuansa Eropa menjamur di tiap sudut kota. Di sana gadis-gadis berambut pendek duduk mengelilingi meja, sambil menyesap teh di cangkir porselen dan menyantap sepotong castella yang bentuknya mirip sabun batang. Di sana juga sekelompok pemuda berkumpul, membicarakan nasib kaum proletar sambil minum kopi yang diimpor dari Asia Tenggara. Jas mereka memenuhi gantungan di samping pintu. Seorang lelaki terpaksa memakai jasnya di tengah udara gerah musim panas, ia duduk sendiri di pojok dekat jendela sambil pura-pura membaca koran-menyembunyikan sepuntung rokok yang terapit bibir.

Belum sampai sepuluh menit, gadis dengan kimono biru muda terbatuk-batuk sebab tak sengaja menghirup asap rokok tadi. Seorang pelayan senior berjalan cepat dari pintu dapur, menghampiri sang pemuda dan mengusirnya dengan halus. Orang-orang memberinya lirikan tajam selagi lelaki tersebut buru-buru melipat koran, beranjak dari tempat duduk ke arah pintu keluar-kotak rokoknya tertinggal di meja. Isinya tinggal dua batang, wanita yang kebetulan baru masuk dan menempati kursi yang sama lantas mengambilnya, menyimpannya di dalam tas tangan. Entah bagaimana nasibnya.

Sementara pemuda itu baru tersadar ia telah kehilangan sisa dua puntung rokoknya ketika nyaris sampai stasiun kereta api. Sebentar lagi matahari terbenam, ia memutuskan untuk membeli tiket kereta di loket lalu mampir ke kios rokok sebentar.

"Halo. Selamat siang."

"Selamat siang."

"Suamimu sudah pulang?"

"Belum."

Mereka sama-sama tahu suami yang dibicarakan tidak akan pulang-ia meninggal di medan Perang Rusia.

"Pergilah ke Kansai," ujar lelaki itu. "Akan ada gempa bumi besar besok."

AbschiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang