男女の間に流れる美しい空気

177 8 5
                                    

Summer mencintai Arai.

Ia sadar ketika sang gadis datang mengetuk pintunya pagi-pagi sekali, barangkali pukul empat, Summer tengah terjaga demi menyelesaikan setumpuk bacaannya. Arai di waktu fajar tampak jauh berbeda dengan Arai yang biasa ia temui di kediaman keluarga Kawayagi, atau di sudut kissaten yang bermandikan cahaya sore, atau di jalanan kota Kawagoe yang selalu ramai. Arai pada waktu fajar sama sekali tak berusaha menampakkan segaris senyum yang biasa terpatri di bibirnya, wajahnya nampak semakin pucat di bawah lampu teras Summer yang remang-remang. Selama ini sang pemuda selalu memerhatikan corak warna-warni kimono Arai, namun kali ini gadis itu malah mengenakan pakaian barat. Rambut hitamnya tak lagi disanggul, melainkan dibiarkan menggantung beberapa sentimeter di atas bahu.

Udara musim semi masih cukup dingin, Summer menggosok-gosok lengannya yang terbungkus kemeja tipis. “Mau masuk dulu?” tanya lelaki itu.

Detik berikutnya, sang gadis sudah menggeleng kuat-kuat.

Apa Summer kebanyakan minum kopi? Dilihat dari mantel terusan selutut dan respon barusan, kelihatannya Arai sedang terburu-buru. Lantas, buat apa repot-repot mendatangi rumah kontrakan Summer sepagi ini kalau cuma mau berdiri di depan pintu? Summer berharap ia tak salah lihat, bahwa gadis di hadapannya ini—terlepas dari penampilannya yang sangat tidak familiar—memang betulan Kawayagi Arai, bukan akal-akalan isi kepalanya.

“Arai-kun[1].” Summer memanggil namanya, lantas tersadar sedari tadi Arai terus menunduk, enggan membalas tatapannya. Ia menarik napas. Diambilnya satu langkah, tangan terulur mendorong punggung Arai untuk masuk ke dalam. Di luar dugaan, gadis itu tak memberontak.

“Duduk saja dulu, aku buatkan teh. Atau mau kopi—“

Ada cengkeraman di pergelangan tangan Summer. Ia menoleh, tersadar telapak tangan Arai yang dingin kini menggenggam dirinya. Agaknya gadis itu tak ingin teh atau pun kopi.

“Baiklah,” ujar Summer, meski belum ada respon apapun baik dari mulut maupun pandang gadis itu. Setelah menuntunnya duduk di kursi ruang penerima tamu yang sempit, Summer bersedekap sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Maaf karena mengganggumu sepagi ini.”

Ah, akhirnya ia bicara. Ternyata Arai pun belum melupakan tata kramanya. Sang pemuda mengedikkan bahu. “Tidak masalah, praktekku tetap buka di jam-jam begini.” Yang dimaksud adalah praktek psikiater modern yang telah digeluti Summer lima tahun terakhir.

“Kau sedang terburu-buru?” lanjut Summer.

Arai tersentak sedikit, seolah diingatkan kembali pada tujuan awalnya kemari. Setelah mengambil napas panjang seraya memejamkan mata, ia menoleh ke arah Summer. Manik obsidiannya berkabut. “Sebenarnya ... aku ingin mengucapkan selamat tinggal.”

Summer mengernyit. “Selamat tinggal?”

Sebuah anggukan. “Ya,” jawab Arai, kemudian bangkit dari kursinya. “Selamat tinggal, Sensei[2].”

“Tunggu sebentar.” Kini giliran Summer yang menahan pergelangan tangan Arai, menyuruh gadis itu kembali duduk di kursi sampingnya. “Memangnya mau pergi ke mana?”

Jeda sebentar, Arai kelihatan ragu-ragu memberi jawaban. “Aku akan...,” ucapannya terpotong, hingga lima detik kemudian ia melanjutkan, “pergi jauh.”

AbschiedWhere stories live. Discover now