West Virginia

139 9 4
                                    

“Apakah masih jauh?”

“Apa?”

“Rumahmu.”

“Maaf.” Kuperhatikan kamu menoleh dari kursi kemudi, berhati-hati agar tetap menjaga jarak dengan mobil sedan biru di depan yang rodanya terpaksa meluncur begitu pelan karena truk pengangkut barang di depannya lagi seolah kelebihan beban. Bagian belakang truk itu dipenuhi kursi, meja, lemari, kardus, sampai sepeda tua yang kelihatannya tak bisa lagi digunakan. Mungkin benda-benda itu akan dibuang ke tempat rongsokan. “Bisa kau bicara lebih keras?”

Aku mengerjap. Segumpal ansietas mulai memenuhi tenggorokanku, rasanya sangat tidak nyaman. “Apakah. Rumahmu. Masih. Jauh?!” tanyaku lagi, menyerukan tiap kata dengan volume sedikit dinaikkan seolah aku tengah bicara dalam bahasa asing.

“Oh.” Kamu kelihatan ragu-ragu. Kurasa kamu mengerang sedikit, kesulitan mencari jawaban yang tepat, tapi aku tidak begitu yakin karena telingaku mulai berdengung aneh. “Tidak bisa dibilang dekat, masih sekitar dua puluh menit lagi,” jawabmu kemudian, setengah berteriak mungkin setengah menyadari raut wajahku yang tidak nyaman. “Kuharap kau belum begitu lelah.”

Aku sangat lelah. Aku baru saja menempuh perjalanan lima jam dari Washington dengan bus yang air conditionernya tiba-tiba mati setiap empat puluh lima menit sekali. Semalam aku tidak sempat tidur karena harus menyelesaikan artikel yang diterbitkan hari ini soal pasien terakhir yang sembuh dari COVID-19 di AS. Aku tidak berani tidur di bus karena khawatir bakal melewatkan titik pemberhentian di mana kamu menungguku dengan Chevrolet Silverado milikmu, jujur saja aku sama sekali tidak familiar dengan area West Virginia. And that damn noises. Mustahil bahkan untuk menutup mata dengan tenang selama dua menit jika suara-suara memekakkan selalu datang dan pergi di luar sana. Seolah ada puluhan orang sibuk mengebor stratosfer, melintang membentuk garis mirip jejak pesawat—bedanya ini berwarna abu-abu dan berasal dari kapal udara.

Tetapi, aku pun tidak mungkin mengatakan itu semua padamu, bukan?

Haha.

“Tidak—aku baik-baik saja.” Aku menghela napas pelan, berharap telingamu tidak menangkap suaranya.

“Benarkah? Jangan sungkan bicara padaku kalau kau lapar, atau haus. Kita bisa berhenti sebentar di supermarket.”

“Sebenarnya,” lanjutku, “aku sedikit haus setelah menghabiskan isi botol air mineralku sebelum sampai di persimpangan tadi.”

Persimpangan yang kumaksud adalah satu-satunya persimpangan yang kutemui sejak turun dari bus—yang pertama kali menyambutku saat turun dan terakhir kali kulihat sebelum mobil yang kita kendarai melaju pergi. Aneh juga menyebutnya persimpangan. Di sana sedikit macet dan jalannya cukup memusingkan untuk aku yang tidak bisa menyetir, seperti jalan masuk tol yang sebenarnya tidak mengarah ke manapun.

“Oke, kita bisa berhenti sebentar setelah ini.”

Aku mengangguk, kurasa kamu telah menghapal area ini di luar kepala jadi kuduga supermarketnya sudah dekat. Ketika mengalihkan pandangan ke jendela di samping kananku, bangunan berderet seperti barang-barang yang dijajarkan rapi pada rak toko. Ada rumah-rumah kecil, taman dengan ayunan warna-warni, kantor pos, rumah besar, pabrik, gedung tinggi, serta berlusin-lusin papan alamat terpampang di bagian depan beberapa bangunan. Mengernyitkan kening, kusadari semua bertuliskan Smith Street yang semakin lama angka di belakangnya bertambah semakin banyak. Kini menyentuh dua ratus sebelas.

Di depan ada tikungan, kamu menginjak rem seirama menyalanya lampu belakang sedan biru. Di pojokan tikungan tajam ini ada gerbang besar yang kini terbuka lebar, truk tadi perlahan masuk ke sana, kelihatannya memang tempat pembuangan. Landfill, Smith Street number 227, tertulis di papan besar tak jauh dari gerbang. Belum sampai semenit kemudian tikungan terlewati dan mobil kita kembali melaju lurus. Kurasa ini tikungan ketiga yang secara sadar telah kulewati. Selain itu jalanan tetap lurus seolah tak ada akhirnya.

“Supermarketnya ada di depan.” Suaramu menginterupsi fokusku, hingga tiba-tiba saja kamu sudah berbelok menyeberangi jalan lalu berhenti di tempat parkir sempit. Setelah mengambil napas pendek, aku membuka pintu mobil.

Hal pertama yang kulakukan setelah turun adalah menengadah, menatap langit yang menyuarakan dengung lebih keras dari kawanan lebah di sarang mereka. Ada tiga—tidak, empat blimp melintas perlahan di atas sana, sumber dari bunyi-bunyian yang datang dan pergi.

“Apa aku sudah bilang dinding rumahku kedap suara?”

Aku segera menoleh, sebelah tangan masih terangkat melindungi mata dari panas tengah hari. “Senang mendengarnya!” seruku. “Mungkin sebaiknya kau memberitahuku lebih awal soal kapal udara itu!”

“Kuberitahu pun kau tidak akan berubah pikiran!”

Kamu benar. Aku sudah terlalu muak mengisolasi diri di apartemen sempit. Apapun bisa kulakukan demi keluar dari ibukota yang padat, meski itu artinya pergi ke antah berantah tanpa biaya penginapan karena kamu mengizinkanku menginap di rumahmu untuk beberapa waktu. Bila dipikir, ini tak ada bedanya dengan kantor surat kabar tempatku bekerja di jantung kota Washington, yang siang malam tak pernah istirahat dari bunyi kendaraan, klakson mobil milik warga pemarah, sirene mobil polisi, ambulans, maupun pemadam kebakaran. Amerika memang tempat yang aneh—terkadang aku menyesal meninggalkan Budapest lima tahun lalu.

“Oh—aku baru sadar ada danau di sana!” ujarku ketika mengalihkan pandangan ke gang kecil menuju belakang supermarket, sepenuhnya melupakan perkara tenggorokan haus. Terdengar suara langkahmu mengikutiku mendekati pagar yang membatasi tanah tempat kita berpijak dengan aliran air yang mengilap di bawah matahari.

“Itu sungai!” Kamu mengoreksi. Setelah kuperhatikan lebih dekat, itu memang sungai. Lebarnya nyaris seperti danau tapi sisi lain tepiannya masih bisa terlihat jelas, hanya hutan penuh pohon pinus. Angin segar berhembus menerpa wajahku, sedikit membuat rambut setengah bergelombang milikmu terlihat lebih berantakan. Sebelah tanganmu terangkat, menatanya dengan hati-hati dan kusadari ternyata kamu punya dua tahi lalat di atas alis kanan. Sudah dua tahun sejak musim panas pertama aku melihatmu di bawah pohon ceri taman kota dan aku baru menyadari fakta sekecil itu.

“Melihat air sebanyak ini mengembalikan rasa hausku.” Aku berujar seraya menggenggam pagar besi, atensi terarah ke air yang mengalir tenang. “Aku ingin minum Sprite!”

“Apa? Maaf, aku tidak dengar!”

Rupanya sebuah kapal udara melintas rendah di atas kita, aku dapat melihat refleksinya di permukaan sungai. Di dekatnya, aku melihat bayanganmu dan bayanganku sendiri.


▒▒▒▒▒▒▒▒▒▒▒▒▒▒▒▒▒▒▒


(a/n)

A-aku nggak tau ini apa????
Kuanggap ini pemanasan menulis bebas karena beberapa saat belakangan stress dan tertekan nggak bisa nulis. Terima kasih atas inspirasinya, Daniel, yang videonya kucantumkan di atas.

AbschiedWhere stories live. Discover now