What We Meet On The Road

178 10 17
                                    

Masih pagi ketika saya sampai di gang lusuh yang dipenuhi hiruk-pikuk manusia. Dengan napas terengah, saya menengokkan kepala ke segala arah, memutar badan searah jarum jam, mencoba sebisa mungkin agar pandangan tidak berubah kabur. Di hadapan saya ada persimpangan di dalam persimpangan, jalan sempit yang masing-masing punya ujung bercahaya menyilaukan mata, puluhan pintu yang mengarah ke ruang-ruang kelabu. Jantung saya belum berhenti menggedor-gedor kesadaran, apa boleh buat一sudah lama saya tidak berlari sekencang barusan, pikir saya demikian lalu melangkah masuk ke salah satu pintu sewarna kelopak bunga matahari layu yang kebetulan tengah terbuka lebar.

"Permisi, Anda lihat orang dengan sepeda hijau lewat sini?"

Bapak tua yang saya ajak bicara diam sebentar, kemudian menggeleng.

"Dia mencuri makan siang saya."

Bapak itu diam saja. Saya sedikit curiga pada kemungkinan bapak itu bekerja sama dengan si lelaki bersepeda hijau yang saya sebut. Makan siang itu buatan ibu saya, nasi kepal dengan isi suwiran daging ayam dicampur sambal matah一mengingatnya saja sudah memanggil rasa lapar. Jumlahnya tiga buah, dimasukkan ke kantong plastik kuning bekas membeli sayur. Seharusnya saya menjaganya baik-baik, karena itu makan siang berharga buatan ibu dan saya tak punya uang untuk membeli makan siang pengganti, padahal saya tidak pernah sarapan pagi. Sialnya, lelaki bersepeda hijau itu menyambar kantong tersebut selagi saya lengah memungut kertas bertuliskan esai panjang yang terjatuh di dekat kaki. Belakangan saya menduga lelaki itu orang Italia.

"Terima kasih," lanjut saya. Baru saja hendak berbalik untuk keluar, saya mengedarkan pandangan singkat ke seisi ruangan yang ternyata sangat luas. Saya mematung. Di sepanjang dinding terpasang foto-foto hitam putih berpigura, semua memotret orang-orang Yahudi yang menjadi korban holocaust. Gambar yang mengerikan. Demikian saya membatin, namun kaki saya malah melangkah mendekati mereka.

Ternyata benda persegi yang dilindungi kaca mengilap di tengah-tengah ruangan itu semacam diorama kamp konsentrasi Auschwitz. Sedikit banyak mengingatkan saya pada film Boy in the Striped Pajama. Bukan film yang begitu bagus. Tidak semua film sedih yang mengangkat latar perang itu bagus, seharusnya semua orang berani mengakui itu. Kamu tidak berkewajiban menyukai film yang berusaha menyentil sisi kemanusiaanmu. Kalau tidak suka, ya, bilang saja jelek. Oh一saya bicara begini karena teringat seseorang yang sebegitu menyukai Boy in the Striped Pajama hingga mendorong saya ikut menontonnya. Siapa, ya, orang itu? Saya agak lupa.

Omong-omong, saya semakin curiga pada bapak tua tadi karena ruangan ini justru menahan saya untuk segera mengejar lelaki Italia bersepeda hijau. Tapi saya sempat menoleh dan bapak tua itu sedang sibuk menelaah foto kamar gas yang saya tak yakin lokasi persisnya di mana. Mungkin dia bukan pemilik ruangan ini. Mungkin ruangan ini tak punya pemilik一sama halnya dengan kejahatan perang di masa lalu yang tanggung jawabnya dioper ke sana ke mari, tidak ada yang sudi mengklaim hak kepemilikannya.

Saya berkedip memandang diorama, menyentuh permukaan kaca yang menaunginya karena saya tidak menemukan tanda 'dilarang menyentuh', dalam diam memikirkan kenapa orang Italia (yang jahat) mencuri makan siang saya dan kenapa orang Jerman (yang jahat) mencuri kebebasan sesama manusia.



// Lukisan tercantum berjudul 'Early Sunday Morning' (1930) oleh Edward Hopper

AbschiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang