Jendela yang Menyiarkan Permisi Kita

80 7 2
                                    

"Apa kamu menerima surat saya?"

Hening. Seharusnya saya tidak heran. Alih-alih jawaban, yang saya dengar cuma bisik-bisik angin, menerbangkan debu ke mata saya dan karenanya jemari yang kotor ini harus menyentuh kelopak mata beberapa saat, sampai saya berhenti cepat-cepat setelah teringat larangan menyentuh wajah jika belum mencuci tangan. Seharusnya saya tidak kecewa, mata saya masih kemasukan debu sedangkan objek di hadapan masih saja membisu. Dia cuma sebentuk kotak pos, berkarat di tiap sisi dan menguarkan bau metalik, bukan lawan bicara yang baik.

"Kamu pasti menerima surat saya," ucap saya lagi, kali ini dengan nada percaya diri sembari mengangguk mantap. Lalu seolah setuju dengan pernyataan itu, angin menghantamnya keras-keras hingga penutupnya terbuka lebar—memamerkan isi kotak yang kosong. Sekosong kepala saya yang nyaris tertampar pintu besi mungil itu seandainya tidak segera menghindar.

Kembali saya tegakkan punggung dan kepala, melempar lirikan bolak-balik ke kotak pos yang pintunya melambai-lambai dan rumah di belakangnya yang pintunya tertutup rapat. Pagar rumah itu juga digembok, halamannya kotor dipenuhi debu dan rontokan daun-daun yang menari bersama angin. Agaknya tidak ada orang di dalam sana. Tetapi, ingatan masa kecil saya berkata pemandangan ini sama persis seperti hari-hari lewat pukul tiga, ketika sudah terlalu sore untuk mengajak bermain si bocah yang tinggal di sana. Biasanya saya masih memanggil-manggil namanya, meski rumah itu tampak tak berpenghuni hingga rasanya sia-sia saya berteriak mengganggu tetangga, lalu pamannya akan membuka pintu dan berkata; dia sedang tidur. Dan saya akan diusir secara halus.

Namun itu dulu. Baik saya maupun si bocah yang tinggal di rumah itu bukan lagi sepasang bocah sekolah dasar. Kami sudah terlalu dewasa untuk bermain-main dengan layangan kresek di lapangan yang kini berubah jadi deret rumah-rumah berkredit bulanan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya datang ke sini, mungkin lima atau enam tahun. Teman saya bilang, pintu rumahnya selalu terbuka jika saya ingin mampir lagi, tapi pintu yang disebutnya itu sekarang terkunci rapat.

Saya tidak ingin memencet bel, atau memanggil-manggil namanya seperti yang biasa saya lakukan sepuluh tahun lalu. Saya tidak ingin pamannya yang membuka pintu lalu memicingkan mata kala menemui perempuan tidak dikenal berdiri di samping kotak pos, tidak ingin ditanya-tanyai karena saya datang sama sekali tanpa memberi kabar. Saya takut memikirkan seandainya sang paman menjawab; dia sedang tidur. Sebab artinya saya harus pulang lalu kembali lain waktu, dan pulang rasanya akan semakin sulit karena rumah saya sudah tidak ada tepat di seberang jalan.

Untuk terakhir kalinya, saya pelototi kotak pos itu. Apa kamu menerima surat saya? Mungkin iya, mungkin tidak. Surat-surat saya selalu dibungkus amplop cokelat seukuran buku tulis, rasa-rasanya tidak akan cukup dijejalkan ke dalam ruangan kotak yang sempit itu. Diikuti sehela napas pendek, saya berhenti memikirkan pertanyaan yang sama lalu beringsut pergi. Meninggalkan kotak pos yang pintu berkaratnya masih ditiup angin, berderit senyaring bengkel las. Meninggalkan rumah yang tampak kosong dan rumah di seberangnya yang tak berani saya lirik barang sekelebat saja.

Sepasang tungkai saya bawa menyusuri jalan beraspal di bawah sinar matahari, jalan ini tampak lebih sempit dibanding ingatan saya. Rumah-rumah di kedua sisinya tampak familier sekaligus asing di saat yang sama. Rumah itu seharusnya bercat hijau, bukan cokelat muda. Bangunan itu dulunya bukan bertingkat dua. Ke mana perginya seekor kijang yang tinggal di balik pagar ini—oh, benar, dia sudah dibawa pergi bahkan sebelum saya ikut meninggalkan memori di sini.

"Mungkin dia dibawa ke kebun binatang di Surabaya," ujar salah seorang anak yang ikut bermain bersama saya setiap sore. Kala itu saya bilang setuju, bahwa saya pun pernah ke kebun binatang itu satu kali bersama bapak dan ibu dan dua saudara laki-laki saya. Di sana ada banyak binatang yang jauh lebih menarik daripada seekor kijang yang suka kami beri makan apel dari balik pagar bergerigi.

AbschiedWhere stories live. Discover now