The Subtle Art of Killing

98 7 5
                                    

Daniel memberitahuku akan ada yang terbunuh di pesta ini.

Aku sempat mengira dia cuma bercanda. Ini hari ulang tahunnya dan dia sangat suka bercanda. Ketika aku tiba terlalu awal di rumah Daniel, ibunya masih sibuk memanggang muffin bluberi dan aromanya tercium dari tungku api yang ada di basemen. Kudapati Daniel sedang memberi makan ikan di rawa-rawa belakang rumahnya, dia mengenakan setelan jas rapi yang kutakutkan bakal kotor terkena noda lumpur. Suara nyaring kodok bersahut-sahutan memenuhi runguku saat dia mengatakan akan ada yang terbunuh di pesta ulang tahunnya. Dia tampak sangat santai seraya tertawa kecil, seolah sedang membicarakan kunjungannya ke kebun binatang dua minggu lalu.

“Gaunmu  terlihat manis,” ujarnya kemudian dan mau tidak mau aku membalas senyum ramah dan kesopanannya.

“Kau lebih rapi dari biasanya,” jawabku. “Tapi sebaiknya kita kembali ke dalam agar pakaianmu tidak kotor.”

Di luar dugaanku dia setuju dan kami berjalan beriringan menuju halaman belakang rumahnya. Pagar yang mengelilingi halaman itu setinggi hidungku, warnanya putih kusam membuat balon warna-warni yang menyembul di baliknya terkesan semakin mencolok. Pesta hari ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun yang lalu, pusatnya berada di halaman belakang rumah Daniel yang lumayan luas.

“Aku senang kau bisa datang.”

Mengangguk, aku mengingat bagaimana tahun lalu aku terserang cacar sehingga tidak bisa hadir di pestanya. “Berapa umurmu tahun ini?”

“Lima belas,” jawabnya tanpa merasa tersinggung karena dia tahu aku selalu kesulitan mengingat umur orang lain. “Akhirnya aku lebih tua darimu! Dan untuk merayakan kesehatanmu tahun ini, aku telah menyiapkan segalanya dengan sempurna.”

Kupandang Daniel yang tersenyum bangga, membukakan pintu pagar halaman lalu mempersilakanku masuk lebih dulu. “Terima kasih,” ucapku. Detik berikutnya aku mendengar suara Helen—ibu Daniel, memanggilnya dari dalam, dia segera berlari ke pintu dapur. Selagi duduk di ayunan kayu, aku sesekali melirik gaun kuning cerah selutut bermotif kotak-kotak yang kukenakan. Aku memikirkan kembali kalimat Daniel di rawa-rawa tadi, lantas teringat aku belum sempat mengucapkan selamat ulang tahun padanya.

Pria dengan kostum badut itu terlihat mengerikan. Aku berusaha keras menghindar darinya dan hati-hati untuk tidak melakukan kontak mata agar pria itu tidak menghampiriku lalu memberiku balon yang dibentuk seperti jerapah. Halaman belakang rumah Daniel kini penuh oleh manusia, ada teman-teman dan sepupu dan paman serta bibi Daniel, beberapa kukenal baik sisanya hanya pernah berpapasan denganku di sekolah atau orang-orang yang bahkan tak pernah kulihat sama sekali. Daniel punya cukup banyak teman dan kerabat, namun tidak cukup banyak untuk menyembunyikanku dari pria berkostum badut itu.

Jika pria itu berada di bagian barat halaman, menghibur sepupu-sepupu kecil Daniel dengan melakukan trik sulap, aku akan menyelinap di antara kerumunan orang dewasa yang sibuk mengelilingi barbeku. Jika pria itu memutuskan untuk pergi ke bagian timur halaman, aku akan menyelinap lagi ke arah sebaliknya atau ke beranda tempat para wanita duduk bergosip dan anak-anak seumuranku bermain catur. Aku tidak sempat menyapa nenek Daniel yang duduk paling dekat dengan tangga menuju beranda karena pikiranku dipenuhi ketakutan akan bayang-bayang kostum berwarna cerah, rambut palsu, dan hidung merah pria itu. Rasanya seolah pandanganku tiba-tiba berkabut dan kepalaku mulai pusing, suhu udara yang semakin naik seiring pergerakan matahari di puncak ubun-ubun pun sama sekali tidak membantu. Kata Daniel itu namanya serangan panik.

Daniel biasa menenangkan dan menuntunku ke tempat yang sepi saat aku ketakutan. Terkadang melakukan itu saja tidak cukup maka dia segera mengantarku pulang ke rumah. Dia tahu aku takut ketinggian, tempat gelap, dan suara petir. Seharusnya dia pun tahu aku takut melihat badut. Aku mulai kesal pada Daniel karena setidaknya dia bisa memberitahuku kalau ada badut di pestanya. Aku tidak sempat bicara dengannya lagi setelah dia meninggalkanku di ayunan dua jam lalu, terakhir kulihat dia sedang bermain dart bersama sepupunya.

AbschiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang