Wattpad Original
There are 4 more free parts

Part 5

453K 21.9K 336
                                    

"Ini beneran vila punya Mas?" Aku menatap takjub pada vila mewah di hadapanku.

"Iya, yang di Jimbaran cuma satu ini. Kadang aku tinggal di sini, kalo lagi suntuk sama kerjaan," jawab Mas Tama sambil menurunkan koperku dari bagasi mobil. "Ayo masuk, Na. Jangan bengong aja!"

Dia berdecak nggak sabaran melihat aku yang cuma melongo. Gimana nggak melongo, vilanya keren banget. Desainnya unik dengan atap miring dari jerami. Lengkap dengan private pool di tengah-tengah taman landscape tropis yang indah. Ruang makan dan ruang tamunya berkonsep terbuka. Di teras ada dua kursi santai yang langsung menyuguhkan pemandangan kolam dan taman.

"This is your room."

Mas Tama meletakkan koperku di sebuah kamar luas bernuansa putih dan cokelat kayu yang kelihatan sangat nyaman, diterangi oleh cahaya matahari yang tertumpah bebas lewat jendela-jendela kaca besar.

"Keren! Mas Tama desain sendiri?" tanyaku kagum.

"Iyalah," jawabnya singkat.

"Ooh ... arsitek beneran ternyata," gumamku.

"Aduh!" Mas Tama menjitak kepalaku ringan. Aku merengut sambil mengusap kepala.

"Ya, beneranlah, masak gadungan!" ucap Mas Tama sambil melangkah ke ruang depan, mengempaskan tubuh jangkungnya ke sofa yang menghadap ke kolam renang. Aku mengikuti langkah Mas Tama lalu duduk di sebelahnya.

"Tapi ini bagus banget, Mas, pasti mahal. Aku jelas nggak sanggup buat bayar sewanya," kataku serius.

Kak Naya memang bilang ini gratis. Namun, dari awal aku sudah berniat membayar. Walaupun masih kuliah, aku punya penghasilan sendiri dari pekerjaanku sebagai ilustrator freelance di sebuah surat kabar ternama di Surabaya. Bayarannya lumayan untuk anak kuliahan sepertiku. Namun, bukan berarti aku rela menghamburkan uang untuk sebuah vila mewah yang hanya akan digunakan untuk tidur.

"Siapa yang suruh kamu bayar?" tukasnya tak acuh.

"Ya, aku nggak mau tinggal di sini gratisan, tapi kalo disuruh bayar aku juga nggak sanggup. Anterin aku cari hotel budget aja, yuk, Mas," ajakku.

Mas Tama menggeleng malas. "Capek, Na, macet pasti di jalan. Daripada kamu ngerepotin aku buat keliling cari hotel, mending di sini aja. Beres nggak pake ribet," balasnya santai.

"Tapi kan ...."

"Udah, nggak ada tapi-tapian. Aku ngantuk, tadi bangun pagi-pagi banget buat jemput. Kamu cari tiketnya nggak ada yang lebih pagi lagi apa?" sindirnya. "Mas tidur bentar, ya, nanti agak siangan kita jalan-jalan."

Mas Tama bangkit lalu melangkah ke dalam vila.

"Mas Tama tidur di mana?" Aku bertanya heran.

"Ya, di kamarlah masa di kolam?" Bola mataku berputar mendengar jawaban ngawurnya.

"Iya, ngerti di kamar, tapi kamarnya di mana? Di vila ini juga?" tanyaku memastikan.

Mas Tama mengangguk. "Iya, di sini ada dua kamar. Kamu di kamar yang tadi, aku di kamar satunya," jelasnya.

"Nanti malam juga?" Mataku membola tak percaya.

"Iyalah, sepanjang kamu di Bali aku tinggal di sini. Biar gampang ke mana-mana. Rumahku jauh, ribet mesti bolak-balik."

Keningku berkerut, membayangkan harus tinggal serumah dengan lelaki yang baru kutemui 2 jam yang lalu. Mas Tama tampaknya mengerti kebingunganku. Dia menghela napas, lalu duduk di salah satu kursi di hadapanku.

"Kalo kamu nggak nyaman, siang ini aja aku numpang tidur di sini. Nanti malem aku balik ke rumah. Sorry, kadang aku nggak peka tentang hal-hal semacam ini," ucapnya serius.

Aku cuma mengangguk. "Mas Tama nggak marah?"

"Enggaklah, salahku juga lupa kalo aku lagi berurusan sama bocah. Denger kata tinggal bareng laki-laki langsung shock," ledeknya sambil tertawa.

"Iya ... iya, mentang-mentang duda sudah pengalaman dua tahun tinggal bareng perempuan," cibirku kesal.

"Hmm ... dua tahun, yaaa ...." Mas Tama nyengir.

"Mas Tama sama Kak Naya, kan, nikah dua tahun setelah itu ...." Suaraku mulai meragu.

"Setelah itu?" Mas Tama mengangkat alisnya jahil.

"Setelah itu Mas nggak tinggal bareng perempuan lain, kan? Mas belum nikah lagi, kan?" tanyaku kaget.

"Emang tinggal bareng perempuan mesti nikah?" tanyanya lugas. Lagi-lagi aku terpana.

Mas Tama tertawa, sambil melangkah ke sebuah kamar yang letaknya di depan kamarku. "Aku tidur dulu, ya, Dek. Nanti kita lanjutkan lagi pembahasan tentang syarat-syarat laki-laki dan perempuan tinggal bareng," kekehnya sambil membuka pintu kamarnya.

"Satu-satunya syarat laki-laki dan perempuan itu tinggal bareng ya nikah, Mas. NIKAH. Nggak ada yang lain," teriakku sebelum ia menutup pintu kamarnya.

"Dasar bocah!" balasnya sambil terkekeh dari dalam kamar.

Mantan Kakak Ipar Rasa PacarWhere stories live. Discover now