Wattpad Original
There are 3 more free parts

Part 6

450K 17.9K 525
                                    

"Abis ini kita mau makan di mana, Dek?"

Mas Tama menarik tanganku mendekat, agar tidak terpisah darinya di tengah-tengah keramaian.

Kami sedang berada di The Keranjang, sebuah tempat berburu oleh-oleh khas Bali yang ada di daerah Kuta. Bangunannya unik berbentuk seperti keranjang. Mas Tama bilang ini salah satu proyek yang di handle perusahaannya.

Rencananya aku di Bali selama seminggu dan ini hari ketiga. Tiga hari ini ia rajin mengajakku jalan-jalan, mulai dari matahari terbit hingga terbenam. Pernah aku bertanya padanya apa dia tidak kerja, dan dengan santai dia bilang sedang cuti membuatku semakin merasa tidak enak.

Tiga hari bersama Mas Tama itu menyenangkan. Dia orangnya santai, easy going, dan tidak banyak protes. Tidak pernah ada wajah bosan, walau kadang aku shopping terlalu lama atau selalu kebingungan saat memilih makanan.

Mas Tama sempat heran saat aku bilang tidak suka seafood, bukan alergi, tapi memang tidak suka tanpa alasan jelas. Padahal katanya ke Bali itu tidak lengkap kalau tidak menikmati hidangan lautnya. Di Jimbaran, restoran seafood berjejer sepanjang jalan, tetapi hari pertama di Bali, aku malah mengajaknya makan di Mc Donalds Jimbaran, membuat Mas Tama hanya bisa geleng-geleng kepala.

Aku melirik jam tanganku, ternyata sudah jam satu siang. Dia menemaniku di sini dari jam sembilan pagi, dan tidak sekalipun ia mengeluh bosan. Dia malah dengan telaten memberikan pendapat saat aku bingung memilih motif daster untuk Ibu, atau saat aku kebingungan memilih ukuran kaos Bali untuk Ayah.

"Mas Tama pengen makan apa?" tanyaku, sambil sibuk memilih tas-tas rotan bulat dengan berbagai pilihan motif.

"Serius nih aku yang milih?" godanya, mengetahui ke-picky-anku masalah makanan.

"Iyaaa, kali ini aku ngikut aja. Hitung-hitung reward karena Mas udah temenin aku belanja dengan sabar hari ini." Aku tersenyum menatapnya.

"Tapi kalo bisa jangan seafood , Mas. Aku bener-bener nggak suka. Oh, sama jangan nasi campur Bali, nggak tahan pedesnya. Ayam betutu boleh, tapi cari yang nggak terlalu pedes. Atau Mas Tama mau chinese food? Tapi kemaren kita baru makan chinese food, bosen juga, sih," ocehku sambil memasukkan beberapa tas rotan ke dalam keranjang.

Mas Tama terkekeh, tangan kirinya mengacak rambutku sementara tangan kanannya masih menggenggam tanganku. Jadi, dari tadi aku pilih-pilih tas itu hanya menggunakan tangan kananku.

Tiga hari bersamanya, aku jadi tahu kalau Mas Tama itu orang yang suka mengekspresikan maksudnya atau memberikan reaksi tentang sesuatu lewat sentuhan fisik. Dia dengan santainya akan menggandeng tanganku saat kami sedang berjalan, agar tidak terpisah di keramaian. Mengacak rambutku atau mencubit pipiku, kalau sedang gemas atau merangkul bahuku hanya karena ia ingin. Physical affection hal yang biasa buat dia.

Sementara aku, pacaran dengan Dewa satu tahun frekuensi kami pegangan tangan saja masih bisa dihitung dengan jari. Namun, bersama Mas Tama semua mengalir begitu saja. Rasanya wajar kalau ia menggandeng tanganku atau mengacak rambutku. Dia membuatku merasa nyaman.

Mas Tama akhirnya mengajakku ke Cosmic Diner, sebuah cafe bernuansa American retro di daerah Sunset Road. Kami menikmati burger sambil mengobrol ringan. Obrolan kami terhenti, karena ponsel Mas Tama berdering dan ia meminta izin untuk menerima panggilan itu.

"Gue masih cuti, Ndre."

Kening Mas Tama berkerut, setelah menyimak perkataan orang yang ia panggil 'Ndre' di seberang panggilan telepon itu.

"Seminggu. Lo tahu gue nggak ada lagi tanggungan deadline bulan ini. Proyek dia udah gue hibahkan ke David," jawab Mas Tama lagi. "Ya udah, gue ke sana, let her wait. Paling cepet 2 jam lagi, gue masih makan."

Akhirnya Mas Tama mengalah sambil menghela napas. Dia memandangku dengan wajah menyesal setelah mematikan sambungan telepon.

"Mas kalo ada kerjaan nggak apa-apa, kok. Aku naik ojol aja ke vila biar Mas bisa langsung ngantor, kasian orangnya kelamaan nunggu. Thank you tiga hari ini udah menemani aku jalan-jalan," ucapku tulus.

Serius, tiga hari ini fun banget. Namun, aku tidak mau pekerjaannya terbengkalai karena aku. Dia punya tanggung jawab di Bali, tidak sepertiku yang memang sedang liburan.

"Kamu ikut, ya, Na," ajaknya tiba-tiba. "Itu tadi Andre, kakak tingkatku di ITB, yang sekarang join sama aku bikin Monokrom. Dia bilang ada klien yang mau ketemu padahal proyeknya udah aku serahin ke David, junior arsitek di team-ku," jelasnya.

Monokrom adalah perusahaan design and build yang dibangun Mas Tama bersama temannya. Dengan modal patungan, awalnya mereka menyewa sebuah ruko kecil di daerah pinggiran Denpasar dan memulai usaha mereka dengan menerima proyek-proyek kecil. Namun, sekarang Monokrom sudah relokasi ke sebuah gedung dua lantai yang mereka beli tiga tahun lalu di daerah Renon, yang merupakan daerah elite di kota Denpasar.

Pegawainya juga sudah lumayan banyak dan beberapa tahun ini mereka mulai menangani proyek-proyek besar, bahkan beberapa kali memenangkan tender proyek dari Pemkot Denpasar. Kisah ini sempat diceritakan Mas Tama dalam salah satu obrolan kami selama tiga hari ini. Saat itu aku terkagum-kagum mendengar ceritanya. Di usia semuda ini, Mas Tama sudah sukses dengan usaha yang dirintisnya sendiri.

"Mas kan mau kerja, ngapain juga aku ikut?" tolakku. Aku sudah membayangkan kasurku yang empuk di vila.

"Anggap aja kamu balas budi. Aku udah temenin kamu jalan tiga hari ini. Sekarang gantian kamu temenin aku kerja," ucapnya dengan mata bersinar licik. Aku berdecak, hilang sudah impianku untuk tidur siang.

"Pamrih, nih, ceritanya." Aku meliriknya sinis. Mas Tama nyengir sambil mencubit pipiku. Lumayan keras, pipiku pasti jadi merah.

"Sakit, Mas," rengekku sambil menepis tangannya. Mas Tama hanya tertawa.

"Makanya ikut, biar kamu tahu kantorku juga," ajaknya lagi.

Aku memang pengen lihat kantor Mas Tama, sih. "Okay, deh," jawabku.

Mas Tama tersenyum puas.

"Kayaknya nanti aku bakal butuh bantuan kamu, Na," ujar Mas Tama saat mobilnya sudah meluncur di jalan by pass Ngurah Rai menuju Denpasar.

"Bantuin kamu kerja? Aku mana ngerti kerjaan kamu, Mas," tanyaku heran. Aku ini tukang gambar kartun bukan tukang gambar gedung.

"Udah pokoknya ikut aja. Iya-in aja apa yang nanti aku bilang, okay?"

Aku hanya bisa mengangguk pasrah.

Mantan Kakak Ipar Rasa PacarWhere stories live. Discover now