Wattpad Original
This is the last free part

Part 9

441K 18.9K 902
                                    

Aku terbangun saat merasakan seberkas cahaya matahari menerpa wajahku, yang masuk melalui celah-celah tirai jendela yang tak tertutup rapat. Aku mengusap mata, meregangkan tubuh, lalu bergelung lagi di balik selimut. Rasanya sangat nyaman membuatku tak sadar memejamkan mata kembali.

Tiba-tiba percakapan semalam terbayang lagi di ingatanku. Membuat mood-ku langsung terjun bebas. Kemarin Mas Tama tidak langsung menjawab pertanyaan terakhirku.

Setelah terdiam cukup lama ia hanya berkata, "Kalo kamu ingin tahu detail hubunganku dengan Naya, tanya sama Naya aja ya, Dek. Nggak etis rasanya kalo aku yang bicara, bagaimanapun juga dia adalah kakakmu."

Lalu ia berdiri dan pamit untuk pulang. Aku baru sadar kalau sudah hampir tengah malam, dan ia baru saja menghabiskan beberapa botol bir.

"Serius Mas mau nyetir ke Denpasar dalam kondisi setengah mabuk di tengah malam buta gini?" Aku mengangkat sepasang alisku sinis.

"Ya, mau gimana lagi?" Ia mengangkat bahu, "Dan aku nggak mabuk, beberapa botol bir nggak bikin aku mabuk."

"Aku kan bilangnya setengah mabuk, Mas, bukan mabuk." Aku menjulurkan lidahku. Dia tertawa, mengacak rambutku.

Acak aja terus, Mas. Nanti kalau anak orang jadi baper baru tahu rasa. "Mas tidur sini aja, di kamar satunya," putusku akhirnya.

"Tapi kita kan belum nikah, Dek," ucapnya sok polos, dengan mata berbinar geli dan bibir berkedut menahan tawa.

Aku merengut. Nyindir, nih, ceritanya. Lagian ke mana pula perginya Hana yang kemarin berkoar-koar kalau ingin tinggal serumah harus menikah dahulu. Sepertinya dia sudah pergi, kabur bersama si akal sehat, entah ke mana.

"Kalo nggak mau ya pulang aja, nggak ada yang maksa, gih sana pergi," usirku ketus.

Mas Tama malah tergelak, mencubit kedua pipiku gemas. "Mau, dong, Dek. Mas juga capek kalo mesti nyetir pulang." Dia tersenyum manis.

Lalu ia berdeham pelan sebelum berucap dengan nada lembut. "Thanks ya, Hana. For everything."

Dia menatapku hangat, mengusap puncak kepalaku ringan, lalu melangkah masuk ke kamarnya. Meninggalkanku dan debaran di jantungku yang kian menggila. Tuuh ... kan, aku jadi terbawa perasaan.

Pagi ini pipiku memerah lagi mengingat hal itu.

Come back to your sense, Hana. Mas satu itu playboy. Suka tidur sana-sini, tapi anti komitmen. Lebih parahnya lagi ia mantan kakak iparmu. Kurang terlarang apa lagi?

Pagi ini, kami lagi-lagi sarapan di Mc Donalds Jimbaran. Mas Tama hanya bisa mengurut dada. Padahal katanya ia tidak menyukai fast food, tapi karena kebaikan hati dan kesabarannya, akhirnya ia mengalah. Itu katanya Mas Tama, sih, bukan kataku.

Aku mengamatinya diam-diam dari tempatku duduk. Dia tampak ganteng maksimal, mengenakan kemeja merah maroon yang terlihat pas membungkus dada bidangnya. Ternyata, dia menyimpan gym bag yang lengkap berisi pakaian ganti dan peralatan mandi di mobilnya. Dia selalu membawa beberapa pakaian di sana untuk berjaga-jaga, karena sering mendadak janjian gym atau main basket bersama teman-temannya.

Main basket apa main yang lain? Ck, pikiranku yang polos jadi terkontaminasi.

"Hari ini kamu pengen ke mana, Dek?" usiknya membuyarkan pengamatanku. Aku mengunyah hashbrown-ku sambil berpikir. Percakapan kemarin menguasai pikiranku.

"Mas," panggilku.

"Ya?" Mas Tama mengangkat kepalanya.

"Mas bener-bener mau memutuskan hubungan sama Mbak Citra? Bener-bener nggak ada harapan lagi?" tanyaku.

Mas Tama meletakkan chicken muffin yang baru digigitnya separuh, lalu menegakkan duduknya di kursi.

"Kenapa bahas ini lagi?"

"Tapi kenapa? Mbak Citra itu benar-benar idaman lho, Mas. Sudah cantik, baik, pinter, dokter lagi, dan ayahnya mantan bupati, pasti bagus tuh buat karir Mas."

Kok, aku sudah kayak sales marketing-nya Mbak Citra gini, ya?

"Ya, kalo aku nggak ada rasa mau gimana?" tandasnya.

"Tapi, Mas––"

"Nggak ada tapi-tapian Hana. Aku pernah merasakan hubungan yang bahagia karena aku dan Naya saling mencintai, tapi aku juga pernah merasakan hubungan yang sangat menyiksa karena rasa cinta itu pudar. Jadi, kalo di awal aku udah nggak ada feeling buat apa dipaksa? Aku nggak mau menjalani hubungan yang akan membuat kedua pihak tidak bahagia, untuk apa?" tukasnya tegas.

Aku semakin penasaran kenapa rasa cinta antara Mas Tama dan Kak Naya bisa pudar. Nanti aku akan mencoba bertanya pada kakakku. Sekarang fokus masalah Mbak Citra dulu.

"Mas udah pernah menjelaskan ke Mbak Citra?" tanyaku hati-hati.

Mas Tama memijat ujung hidungnya sekilas, tampak lelah. "Malam itu, saat kami berhenti dia menangis. Dia bilang dia mencintaiku, dia rela menyerahkannya untukku."

Mas Tama menghela napas berat, pandangannya menerawang. "Saat itu, aku bilang padanya kalo aku nggak pantas mendapatkannya karena aku nggak bisa membalas cintanya untukku. Tapi dia bilang, dia bisa menunggu dan berusaha lebih keras untuk membuatku mencintainya."

Mas Tama menatapku lagi. "Citra gadis yang baik, suatu saat pasti akan ada lelaki baik yang benar-benar mencintainya, tapi laki-laki itu bukan aku," ucapnya tegas.

Mas Tama lalu melanjutkan sarapannya, meneguk kopi hitamnya hingga tandas. Sementara aku masih terdiam.

"Mas," panggilku lagi.

"Apa lagi, sih, Dek?" decaknya malas.

"Aku mau bantu Mas Tama," cicitku.

Mas tama mengangkat alisnya heran. "Maksudnya?"

"Aku mau menemani Mas ke pesta ulang tahun Mbak Citra."

Yup, positif Hana dan akal sehatnya sudah terbang ke Antartika, menyisakan Hana yang bertindak berdasarkan perasaan. Perasaan kasihan, perasaan tidak tega melihat Mas Tama tersiksa, dan entah perasaan-perasaan apa lagi.

"Serius, Dek?" Mas Tama memastikan. Wajah tampannya terlihat berseri.

Aku mengangguk mantap. "Tapi aku nggak bawa gaun pesta," ucapku ragu.

"Gampang, nanti kita ke butik temanku," tepisnya.

"Aku juga nggak bawa alat make up," ujarku lagi.

"Gampang, nanti aku Googling salon yang bagus di sekitar sini." Ia menatapku lekat.

"Aku juga nggak pinter bersandiwara." Aku menggigit bibirku gugup.

"Itu juga gampang, jadi diri kamu sendiri aja, sisanya biar aku yang urus," balasnya cepat.

"Aku juga––"

"Ck, kamu beneran niat bantu nggak, sih, Dek?" sindirnya mendengar rentetan keraguanku.

"Iyaa ... iya!" Aku merengut pasrah. "Mas ...."

"Ya, Sayang."

Apaan, sih? Pipiku langsung terasa panas. Pasti merah, deh, tomat aja pasti kalah. Mas Tama terbahak.

"Latihan dulu, Dek, biar terbiasa," tawanya renyah.

"Mas, iih ...." Aku memukul bahunya gemas. "Nggak jadi bantuin, lho," ancamku.

"Jangan, dong, Sayang. Nanti aku sedih, lho"

Ya ampun, aku butuh Hana dan si akal sehat untuk kembali, dari Antartika atau dari mana pun. Hana yang sekarang terlalu lembek, masa dibilang sayang saja udah meleleh, mana cuma pura pura lagi. Aku mendengkus sebal mendengar gelak tawa Mas Tama yang semakin keras.

Kuatkan hati Adek, Ya Tuhan ....

icon lock

Show your support for ayleentan, and continue reading this story

by ayleentan
@ayleentan
Selama hidupnya, Hana belum pernah benar-benar jatuh cinta. Hingga su...
Unlock a new story part or the entire story. Either way, your Coins help writers earn money for the stories you love.

This story has 39 remaining parts

See how Coins support your favorite writers like @ayleentan.
Mantan Kakak Ipar Rasa PacarWhere stories live. Discover now