12.Peduli

16.7K 1.4K 9
                                    

Thanasa percaya alasan Tristan membunuh Ayah mereka karena lelaki itu ingin merebut tahta. Tidak salah lagi. Mungkin karena Thanasa yang lebih dipilih Lucian menjadi pewaris dibanding dirinya. Hal inilah yang membuat Tristan tega membunuh Lucian.

Ya, hanya karena sebuah singgasana.

Lebih dari itu, mungkinkah ada alasan lain yang lebih masuk akal?

Ah, Thanasa baru ingat.

Selama ini, Lucian memang tidak pernah memperlakukan Tristan dengan baik. Sedari kecil, dalam segala hal yang diprioritasin adalah Thanasa. Lucian bahkan belum pernah memukul atau berlaku kasar terhadapnya.

Tapi tidak dengan Tristan.

Bekas luka memanjang didahi pria itu adalah bukti jika Lucian sangat kejam terhadap sang Kakak. Dulu Thanasa mendengar rumor bahwa Lucian mencoba membunuh Tristan. Thanasa tidak percaya. Bahkan untuk memastikan, ia bertanya langsung kepada Tristan.

Tristan menjawab itu hanyalah isu dan tidak perlu memikirkan angin lalu dari orang-orang.

Sekarang Thanasa bertanya-tanya.

Apakah desas-desus dulu semuanya benar? Karena inikah Tristan sampai hati melenyapkan Ayah mereka?

Delano yakin gadis didepannya ini pasti sedang memikirkan banyak hal. "Kalau kau masih mau bunuh diri, silahkan."

Mendongak, Thanasa bangkit dan bergegas ke arah penguasa Altair. "Kau tau alasannya?" Tanya Thanasa berharap Delano akan memberitahunya.

Ekspresi Thanasa mengisyaratkan banyak jawaban yang harus ia dapatkan. Haus dari rasa penasaran akan semua hal. Hm, haruskah Delano bermain sedikit?

"Aku tidak akan pernah memberitahu mu, kecuali~"

Alis gadis itu mengkerut, menebak-nebak apa yang akan Delano ucapkan selanjutnya. Senyum licik terpampang, Thanasa yakin pasti bukanlah hal yang baik.

"~tidur dengan ku."

Terperangah dan kaget. Sudah Thanasa duga. Memang bukan hal baik yang patut didengar. Gadis itu dibikin geram dan emosi. "Enyahlah kau dari kamar ku bajingan!!! Pergi!!"

Mendengar Delano tertawa, kian menambah afeksi jengkel Thanasa. "Bajingan! Aku tidak mau diperkosa oleh mu terus-terusan. Pergi! Pergi!"

"Tidak ada seorang tamu yang mengusir tuan rumahnya. Ini adalah kamar ku, harusnya kau yang pergi dari sini. Terlebih ini adalah Istanaku, beraninya kau mengusir seorang Raja dari istananya sendiri?" Sunyi sejenak, Delano melihat kondisi Thanasa dari atas sampai kebawah. Mengangkat tangan kanan dan bergerak seolah-olah menimang-nimang sesuatu.

Lelaki itu melanjutkan, "Bagaimana kalau kau tidur diluar kamar ku? Sekarang sedang musim dingin, jika kau tidur diluar mungkin akan meredamkan amarah mu itu."

Melempar sunggingan kecil, Thanasa mendekat dan menampilkan senyumnya yang paling mani, ia langsung beranjak saat itu juga.

Tidak suka diremehkan dan tidak suka dihina.

Thanasa juga tidak sudi satu kamar dengan seorang pria brengsek.

Memangnya siapa pria itu? Sombong sekali.

Tertawa Delano makin nyaring setelah mendengar bantingan pintu yang cukup kuat. Ia berhasil membuat Thanasa marah kembali. Senang sekali.

Dongkol, Thanasa seperti ingin mencekik Delano saat ini juga andaikan tangannya tidak patah. Menghela napas panjang, Thanasa menatap satu-persatu pengawal beserta dayang yang menjaga pintu. Bahkan ada Xenya juga. Thanasa yakin mereka pasti penasaran akan perihal dirinya dan Delano.

"Kalian boleh pergi dan tidak perlu menjaga disini." Ujar Thanasa.

"Baik, Ratu." Menyahut serempak, beberapa orang tadi langsung pergi.

Melongok kekiri dan kekanan. Thanasa memastikan tidak ada orang yang lewat. Ia tidak mau terlihat oleh siapapun selagi tidur nanti. Harga dirinya bisa jatuh.

Apa kata orang-orang nantinya?

Tuan Putri Lucian diusir suaminya?

Atau Raja Delano tidak ingin melihat sang istri?

Keh, jangan harap!

Yakin sudah sepi, sedetik kemudian Thanasa segera merebahkan tubuh dan acuh akan hawa yang sangat dingin menusuk kulit.

3 Jam gadis itu terlelap. Tanpa sadar seluruh badan nan ringkih miliknya pucat, tidak bisa bergerak dan menggigil. Waktu semakin berjalan dan itu membuat kondisi si gadis makin parah.

Thanasa susah bernapas. Berkali-kali ia mencoba hirup udara, tapi kesusahan. Napasnya jadi pendek-pendek dan tidak teratur.

Badan yang tadinya dingin kini semakin dingin dan cukup kaku. Ah kakinya bahkan tidak bisa digerakkan sama sekali.

Keadaan yang begitu mengenaskan.

Dalam situasi parah, Thanasa terbawa oleh arus kenangan bersama sang Kakak.

"Kak, apa aku boleh menikahi Kakak suatu saat nanti?"

"Kita bersaudara, itu dilarang."

"Tapi bukankah legenda mesir juga begitu? Firaun menikahi adiknya sendiri. Mereka bahkan hidup bahagia dan menjadi kisa cinata yang begitu indah."

Menyeringai halus, Tristan mengelus-ngelus kepala Thanasa. Tahu kalau Thanasa menyukainya, Tristan semakin dibikin bimbang saat itu. Sejak kecil, adik tersayangnya tidak pernah mau bermain dengan anak laki-laki lain kecuali dia sampai-sampai Lucian jengkel akan hal ini hingga mengundang Lander dari Kerajaan Grassia untuk menjauhkan Tristan dari Thanasa.

Gadis dengan sifat pembangkang tersebut tidak tahu akan konsekuensinya karena telah menaruh hati pada sang Kakak.

"Kakak, kau tidak boleh menikahi perempuan lain. Mereka jelek dan tidak pantas untuk mu. Aku mau menikahi mu."

"Kakak."

Suara Thanasa terdengar sampai ketelinga Delano. Terdengar seperti gemetar.

"Kakak."

"Kakak."

Delano terkejut saat pintu terbuka. Thanasa terkapar dan tak berdaya. Seruan kata 'Kakak' terus diucapkan.

"TABIB!!"

"PELAYAN!!"

"PENGAWAL!!!"

Gaduh, orang-orang berdatangan.

Xenya yang tiba duluan tersentak mengetahui kondisi sang Ratu. Matanya melebar hebat melihat keadaan Thanasa yang seperti orang mati.

"Panggilkan tabib!!

* * *

MY KING MY ENEMY (TAMAT) ✓Where stories live. Discover now