16.Hilang

19.2K 1.6K 55
                                    

Semua orang bersiap memeriahkan kemenangan Delano, calon menantu terpilih dari hasil sayembara hari ini. Otomatis ia akan melangkah menjadi suami Tuan Putri Grace.

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu melangkah memasuki kamar, ia ingin tahu apa reaksi sang istri jika mengetahui kemenangannya.

Marah?

Kesal?

Atau biasa saja?

Kening Delano sedikit mengkerut saat tidak mendengar suara apapun dan suasana tampak lebih hening dari biasanya. Delano mengitari semua sudut kamar dari tempat pemandian, ruang tamu kamar, ruang ganti dan balkon.

Hasilnya kosong.

Thanasa tidak ada.

"Alord!"

Panglima kepercayaan Delano masuk dan langsung menundukkan kepala.

"Ya, Yang Mulia."

"Panggil Xenya kemari."

"Baik, Yang Mulia."

Beberapa menit kemudian Xenya dan Alord datang bersamaan. Keduanya memberi hormat.

"Apa kau melihat Ratu?" Tanya Delano.

Xenya menggeleng pelan, ia ragu-ragu untuk menjawab. "Hamba tadi disuruh Yang Mulia Ratu untuk mencarikannya hiasan rambut khas Kerajaan Grey, Yang Mulia." Melirik takut, Xenya melanjutkan lagi. "Ratu bilang, ia ingin berpenampilan seperti orang-orang disini. Makanya dia menyuruh hamba untuk mencarikannya hiasan."

Mengernyit heran, Delano mengangkat suara. "Apa kau berhasil mencari perhiasan itu?"

"Hamba baru berhasil menemukan beberapa dan berniat ingin menemui Ratu setelahnya, Yang Mulia."

Delano terdiam, menimbulkan rasa angker dan kebingungan pada kedua orang didepannya. Dalam kepala tertunduk, mereka saling melirik satu sama lain. Entahlah, rasanya Delano cukup menakutkan saat ini.

Suara bariton sang Raja mengembalikan fokus Alord dan Xenya. "Cari Ratu dan malam ini harus sampai ketemu."

Membuang napas panjang, Xenya lega karena ia menduga Delano akan marah besar tadinya. Tapi pria tersebut berbicara dengan nada yang cukup biasa-biasa saja, malah lebih terdengar seperti siratan pasrah.

"Baik, Yang Mulia." Balas Alord dan Xenya bersamaan.

Setelah Alord dan Xenya pergi, Delano menapakkan kaki menuju balkon. Lelaki itu merenungi beberapa hal terkait kejadian-kejadian yang telah berlalu.

Otaknya mengingat saat pertama kali bertemu dengan Thanasa di goa. Waktu itu, ia tidak sengaja bertemu dengan Thanasa yang sempat menyentuh pedangnya. Ah, gadis itu memang angkuh dan sombong. Delano ingat betul bagaimana ekspresi serta tata cara omongan yang keluar dari si gadis.

Kemudian bayangan-bayangan soal pembunuhan Lucian pun muncul. Delano masih ingat dengan jelas bagaimana ia membunuh Ayah dari istrinya sendiri. Lucian benar-benar dilenyapkan dengan keji hingga darahnya menciprat kemana-mana. Akhirnya pembalasan yang tunggu-tunggu terwujud. Hm hanya saja masih tersisa satu orang. Harusnya saat itu ia juga membunuh Thanasa. Tapi entah kenapa ada rasa ketertarikan sendiri sampai Delano mengurungkan niatnya. Delano ingin putri dari Lucian itu menderita perlahan agar semua pembalasan dendamnya tidak sia-sia. Soalnya kalau langsung membunuh akan sangat tidak menyenangkan. Terlalu mudah. Delano ingin menyiksa Thanasa dengan segala rasa sakit yang ganas.

Hari demi hari berjalan. Namun, Delano malah sering memikiran gadis itu. Ekspresi sinis, ketus, kasar dan pembangkang. Ada kepuasaan tersendiri saat Delano berhasil membuat Thanasa marah. Ia senang dan ingin mengulanginya terus-menerus.

Entahlah bagaimana ia harus mengungkapkan rasanya? Intinya emosi apapun yang Thanasa tunjukkan, Delano menikmatinya. Ah, apalagi saat Thanasa kesakitan ketika mereka 'itu'. Delano tersenyum miring karena Thanasa memohon untuk berhenti, tapi ia terus melakukannya agar Thanasa kian tersiksa.

Seiring berjalannya waktu, diam-diam Delano pun suka melukis Thanasa. Pada saat hari pertama disini, sebenarnya sosok yang ia lukis adalah Thanasa bukan Grace. Delano sengaja mengikuti sayembara tersebut karena ingin menolong Grace dari perjodohan Ayahnya yang ingin sang putri menikah dengan para Raja penguasa negeri besar. Delano mengetahui hubungan Grace dan adiknya-Dilan. Demi menyatukan keduanya, Delano setuju untuk bergabung dengan semua permainan ini.

Terdengar konyol, namun ia sudah berjanji pada Dilan agar menjaga Grace sampai ia kembali ke Altair.

"Apa kau memikirkannya?"

Delano menoleh kebelakang saat tahu ada Grace yang datang. Bibirnya tersimpul sinis. "Aku belum menyiksanya dengan puas, tentu saja aku memikirkannya." Senyuman sinis itu berubah lembut, Delano mendekati Grace.

"Jadi benar kau menaruh perasaan pada gadis itu?" Menyilangkan kedua tangan, Grace menampilkan mimik seolah-olah penasaran dan meminta jawaban.

"Menurut mu?"

Grace menyeringai kecil. "Kau bahkan melukis dirinya saat sayembara ku. Ck, lancang sekali kau berbuat demikian. Bisa saja aku langsung merobek lukisan mu pada saat itu juga."

Membalas dengan senyuman iblis, Delano memandang remeh. "Ayah mu tentu saja tidak berani mengusik ku. Yang ada malah Kerajaannya yang aku jajah."

Seketika dua sejoli itu tertawa bersamaan.

Sedetik kemudian, Grace kembali fokus pada perbincangan mereka. "Apa kau benar ingin memenuhi sumpah mu itu? Bukankah dia tidak ada hubungannya?"

Membisu.

Bibir Grace melengkung tipis. Ia menerka-nerka bagaimana perasaan Delano terhadap Thanasa. Soalnya Delano tidak pernah melukis seorang gadis manapun selama ini. Tentu ia penasaran tentang sikap Delano yang satu ini. "Jadi~ apa yang akan kau lakukan? Tampaknya kau benar-benar mencintai istri mu."

Menatap lurus pada Grace, Delano hanya diam dan tidak menjawab.

Cukup lama sampai Grace jengah sendiri.

Demi mencairkan suasana, Grace memilih topik lain dan langsung pergi. "Beritahu aku kapan adik brengsek mu itu akan kembali dari perang. Aku sudah menunggu terlalu lama, suruh dia cepat-cepat menikahi ku."

Setelah kepergian Grace, netra hitam penguasa Altair berpindah keatas, ia memperhatikan langit dengan tatapan kosong. Perkataan Grace barusan terus mengiang dikepalanya, berputar dan menggema bersamaan.

Cinta?

"Ck, menggelikan."

***

Matahari yang bertengger seharian sudah tergantikan oleh bulan. Semua pengawal Altair tidak menemukan Ratu mereka.

Hanya kuda yang dibawa oleh Thanasa ditemukan mereka dekat danau.

Raja Grey sendiri merasa bersalah karena istri dari Delano itu hilang dalam kerajaannya. Ia membantu dengan mengerahkan banyak prajurit dan ikut mencari Thanasa bersama Delano.

Kabar menghilangnya Thanasa langsung menjadi pembicaraan hangat.

Orang-orang berspekulasi Thanasa tidak ingin suaminya menikahi Grace, bahkan ada yang bergosip Thanasa mau bunuh diri lantaran sakit hati pada Delano yang ingin mempunyai selir tambahan.

Raut muka Delano sulit diartikan, yang pasti ia sangat marah dan ingin langsung mencabik tubuh Thanasa saat berhasil menemukan gadis itu. Kurang ajar sekali berani kabur dari Delano. Lihat saja jika ketemu nanti, Delano ingin memberi pelajaran yang tidak akan pernah ia lupakan.

Mungkin mematahkan kaki gadis itu adalah yang terbaik agar tidak bisa kemana-mana.

Ah, haruskah Delano memasungnya juga?

Atau menaruh ular disekitar ruangan agar Thanasa tidak berani pergi lagi?

Delano tersenyum miring, mungkin ia harus melakukan semua opsi pilihan diatas.

Tidak ada yang boleh mengangkat kepala kecuali Delano menyuruh.

Tidak ada yang boleh menjawab kecuali Delano mengijinkan.

Tidak ada yang boleh mati kecuali Delano yang membunuh.

Tidak ada yang boleh kabur kecuali Delano yang mengusir.

***

MY KING MY ENEMY (TAMAT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang