Double Ar | 28

74 4 0
                                    

DUA PULUH DELAPAN

Bukahkah hidup adalah perjalanan paling misterius yang pernah ada?

SELAMAT MEMBACA

Arsya kembali dengan langkah cerianya, diiringi dengan kedua tangannya yang dipenuhi oleh minuman botol yang dibawanya dari kantin.

Gadis itu benar-benar mempunyai aura bahagia yang tak pernah hilang. Bahkan, meski sedang membawa air minum ditangannya.

Bagas yang memang tak pernah memperhatikan bagaimana tingkah keseharian Arsya menyerngitkan alisnya.

"Kenapa lo? Dikasi gratis sama bibik kantin minumnya?"tanya Bagas sembari menerima sodoran minuman kearahnya.

Bagas itu sebelas dua belas dengan Gaga dan Raya, tukang makan, jadi tak heran jika makanan gratis adalah hal yang paling membahagiakan buatnya.

Naya menggeleng pelan sembari berdecak. Hampir dua tahun mengenal Bagas ternyata membuatnya paham akan satu hal, bahwa Bagas tak pernah merubah apapun dari dirinya.

"Dih, emang zaman sekarang masih ada gratisan gitu? Ngga modal deh."jawab Arsya sembari menggeleng pelan.

"Ar, ngga ada penghilangan sedikitpun kata gratis di kamus makhluk macam ini. Gratis adalah kosakata paling dia tunggu."timpal Naya dengan nada sinisnya dan melirik kearah Bagas yang sudah mendengus sebal.

"Lah? Mading nya?"baru saja Bagas akan menimpali Naya, ia sudah di jeda oleh keheranan Arsya terhadap mading didepan mereka.

Sudah jadi jauh-jauh waktu sebelum Arsya kembali, dan dengan dekorasi yang menakjubkan.

"Gw tadi belajar sulap gitu, ternyata gw jago. Hehe. Hebatkan? Mau gw lakuin lagi?"tanya Bagas dengan nada semangatnya.

Arsya menatap Bagas dan mding didepannya secara bergantian dengan ekspresi herannya.

"Beneran? Serius Nay? Coba, praktikin didepen aku."titah Arsya dengan wajah polosnya.

Bagas menyemburkan tawanya dengan begitu saja, sedang Naya sudah memutar bola matanya saat melihat kearah Arsya.

Gadis ini, polosnya ngga kira-kira. Bahaya sekali jika terus dibiarkan bergaul dengan orang semacam Bagas.

"Ar, lanjut ayo lanjut, tempel mading yang lain aja."ajak Naya dan merangkul gadis itu ke kelas selanjutnya.

Bagas tak menyelesaikan tawanya, sangat berat baginya. Mendengar nada polos Arsya bertanya dan menyuruhnya ulang melakukan sulap untuk mading itu.

Anak kecil aja ngerti mereka lagi dibohongi, kenapa Arsya justru sepolos itu? Ckck.

Arsya tak diberikan waktu untuk memikirkan masalah mading pertama itu oleh Naya, bahkan gadis itu dengan cepat mengalihkan topiknya menuju hal lain agar pikiran Arsya tak berarah kesana.

Bagas terkekeh pelan saat melihat Arka berdiri didepannya.

"Aman kok, kayaknya Naya juga ngga berani buka suara, gara-gara ancaman receh lo itu."beritahu Bagas, meski laki-laki itu tak menanyakan apapun.

Sebab, siapa dia dan siapa Arka? Memahami laki-laki itu sudah pernah ia dan masih ia lakukan dari awal sebuah cerita dimulai. Jadi, jangan heran jika Bagas bisa membaca beberapa pergerakan mata dari Arka.

Meski beberapa bulan ini mereka tak sedekat sebelumnya, tapi Bagas bisa menebak bahwa laki-laki itu sedang mengulum bibirnya sekarang, dibalik maskernya itu.

Tanda bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu, dengan mata yang terus mengamati Arsya yang ada dibalik punggung Bagas.

"Gimana olimpiade lo? Gw denger acaranya bentar lagi. Perlu gw tonton juga, biar lo semangat?"tanya Bagas dengan nada main-mainnya.

Arka tak melirik, hanya memilih menyenderkan tubuhnya ke dinding dekat pintu kelasnya.

Matanya masih Setia mengarahkan pandangan kearah Arsya yang terlihat sangat sibuk dengan kegiatannya.

"Gw baik-baik aja."Arka memandang kearah Bagas, lalu mengalihkan pandangannya kearah sepatunya sendiri.

"Tanpa kalian. Jadi, jangan bertingkah seolah kita masih deket."jawab Arka dengan nada dinginnya.

Bagas menaikkan sebelah alisnya, mendengar pernyataan itu membuat jiwanya sedikit tertarik.

Seorang Arka Arvandi, laki-laki dingin yang tak punya teman dimana pun kecuali ia dan beberapa komplotannya.

Laki-laki yang mulai menghentikan malas bicaranya ketika bertemu mereka. Arka yang paling mengerti tentang seni dan multitalenta.

Mengatakan bahwa ia baik-baik saja tanpa sahabatnya adalah hal yang paling lucu yang pernah di dengar Bagas.

"Sejauh apalagi lo mau berjalan sama kebohongan lo itu? Gw yakin, lo bahkan sulit ngejalanin hari lo tanpa main sama Raka. Tanpa dengerin keluhan anak itu."Bagas terkekeh pelan.

"Jangan terlalu bohongin diri lo. Lo boleh aja ngebohongin kami. Tapi jangan elo sendiri."lanjut Bagas dan menepuk bahu laki-laki itu tanda menguatkan.

"Lo salah menilai gw."jawab Arka dengan dingin.

Membahas hal ini adalah hal yang paling di hindarinya semenjak dahulu. Bertatap muka pun sangat ia hindari, meski beberapa hari belakangan, kegiatannya seperti tak pernah luput dari para sahabatnya itu.

"Lo yang salah menilai diri lo sendiri. Gw yakin, gimana frustasinya Raka, itu yang lo rasain. Kita mungkin emang ngga terlalu deket karena kita beda dalam banyak hal kan? Tapi gw tau Raka, dan elo terhubung sama dia."

"Jangan ngehindar terus Ar, hidup itu perjalanan loh, bukan pelarian."lanjut Bagas dengan nada seriusnya.

Arka mengangkat wajahnya tanpa memandang kearah Bagas yang sedari tadi memperhatikannya, kemudian berjalan dengan segenap aura dingin yang selalu sangat khas dengan Arka.

Bagas menghela nafasnya kasar. Menghadapi Arka meski hanya dalam beberapa menit sangatlah melelahkan menurutnya.

Karena kepribadian Bagas yang bertolak belakang dengan Arka membuatnya tak begitu dekat dengan laki-laki itu, meski memang sering bermain bersama dalam tahunan yang panjang. Ia tetap sangat sulit untuk dekat dengan Arka.

Entah Arka yang terlalu sulit dipahami atau Bagas yang terlalu bodoh.

Yang ia tahu, Arka hanya paling dekat dengan Raka. Seseorang yang menyatukan mereka semua dan membuat mereka nyaman berbicara satu sama lain.

Dengan sikap ramah yang benar-benar khas Raka, laki-laki itu bisa mencairkan es keras seperti Arka. Oleh karena itulah, Arka mempunyai jiwa yang terhubung dengan Raka.

Jadi ketika Arka tak pernah ikut berkumpul, Raka menjadi sensitif untuk beberapa hal. Dan, Bagas yakin, Arka juga pasti merasa kan hal yang sama.

"Bagas!"Naya yang berteriak dengan keras benar-benar mengejutkan Bagas yang sedang berada dalam lamunannya.

"Ck, apaan sih lo. Kenapa kenapa?"tanya Bagas dengan nada sebal dan berjalan kearah Naya serta Arsya.

"Lo itu kalo kesini ngelamun doang pergi aja deh, tolong."gerutu Naya sembari menempelkan beberapa properti.

"Lo sama si es batu ngomongin apa? Kayaknya serius banget?"tanya Arsya tanpa melihat kearah Bagas yang ada dibawahnya karena ia sedang berdiri di kursi.

"Jangan sampe lo tau, ntar lo jatuh Cinta."jawab Bagas dan terkekeh pelan.

"Heh! Siapa juga yang jatuh Cinta sama monyet kayak elo. Ck, gr banget sih."omel Naya dengan nada sebalnya.

Bagas menampilkan ekspresi malasnya, kemudian menjitak pinggir kepala Naya.

"Bukan gw, monyet! Tapi ke Arka. Bisa ngga sih jangan ikut campur apapun urusan gw."timpal Bagas dengan nada tertahannya karena ingin sekali rasanya menelan hidup-hidup gadis itu.

Arsya hanya berdecak pelan mendengar per kelahiran itu.

Sedang, disisi lain, perasaan arka terus saja terasa diguncang oleh hal-hal berat yang beberapa bulan ini menimpanya.

Swipe up for next stories!

double ARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang