Prolog

1.7K 53 8
                                    

Setiap perempuan mengharapkan pernikahan yang bahagia. Dengan lelaki pilihan dan akad nikah yang diimpikan. Karena momen sakral ini hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Tak salah jika mengimpikan resepsi yang mewah dan senyuman yang terpancar di kedua mempelai serta para kerabat. Namun, segenggam harapan seketika hilang karena perjodohan. Pertemuan yang mendadak dan begitu singkat, memaksaku dipinang oleh lelaki tak dikenal.

"Saya terima nikah dan kawinnya Nur Laila binti Abdul Hakim, dengan maskawin tersebut, dibayar tunai," ucap lelaki di sampingku dengan lantang.

"Bagaimana para saksi, sah?" tanya penghulu.

"Sah!"

Setelah akad selesai, Purnama yang telah sah menjadi suamiku, menggandeng tanganku layaknya pengantin baru. Senyum bahagia terpancar di wajahnya. Sedang aku, hanya memasang wajah datar. Ini bukan pernikahan yang kuimpikan, tapi pemaksaan.

Aku melepas gandengan tangannya. "Gak usah pegang-pegang, aku jadi istrimu karena terpaksa!" cetusku.

Dia membuang mukanya malas. "Heleh, siapa juga yang mau gandengan. Jangan ge'er dulu, aku bahagia tapi pura-pura!" balasnya.

Akhirnya kami duduk berjauhan, berjarak sekitar 1 meter. Sampai kedua orang tuaku menatap heran lalu menegur, "Sayang, jangan gitu dong, Purnama 'kan suami kamu sekarang. Masa pengantin baru jauh-jauhan," kata ibu.

"Ogah! Aku gak mau jadi istrinya," sahutku kesal.

"Ah, paling lama-lama juga cinta." Bapak ikut menyahut sambil tertawa kecil.

Fotografer mengisyaratkan bahwa waktunya untuk pengambilan foto. Aku dan Purnama mengikuti semua arahannya. Dia menyuruhku mengaitkan kedua tangan pada leher suamiku. Sedangkan Purnama merengkuh pinggangku.

Cekrek.

Cekrek.

Beberapa kali jepretan berhasil diambil. Fotografer menghela nafasnya pasrah. Dia menunjukkan hasil potretan gambar. Meskipun belasan kali diperintah untuk saling bertatap dan melempar senyum, namun dalam foto tersebut, aku dan Purnama saling memalingkan wajah dan memasang raut jijik.

"Udahlah gak usah foto, malas aku!" ucapku kesal karena lelah sedari tadi berdiri.

"Ya sudah gak usah, tanda bukti nikah, kita selfi aja kapan-kapan!" cetusnya sama-sama kesal lalu melenggang meninggalkanku.

***

“Loh kok, kalian gak tidur di kamar?” tanya ibu ketika melihatku berbaring di sofa.

“Gak perlu, Bu, di sini lebih nyaman,” sahut Purnama beralasan.

“Loh, ini kan malam pertama kalian. Gak mau anu-anu gitu?” kata bapak sambil mengedipkan sebelah mata.

“GAK MAU!” seru kami bersamaan.

Ibu dan Bapak terkekeh, mereka malah menggiringku dan Purnama ke sebuah kamar yang telah disediakan. Bapak mengunci kami. Terdengar cekikikan mereka di luar sana.

Aku mendengus kesal. Malas. Ogah banget sekamar sama dia.

Malam ini adalah kali pertamanya aku satu kamar dengan seorang lelaki. Bagaikan sepasang orang asing yang tinggal satu atap. Purnama menggelar sebuah tikar beserta bantal dan selimut di lantai.

"Aku tidur di bawah, kamu baik-baik di atas," ucapnya.

"Pasti baiklah orang di kasur," jawabku.

"Maksudku baik-baik jangan sampai tidurnya guling-guling terus niban aku lagi."

Pukul 9.15 malam, laki-laki yang menjadi suami sahku itu sudah mendengkur sejak satu jam yang lalu. Sebelum saat terdengar petir yang menggelegar, dia terlonjak. Aku pun kaget, hujan malam ini begitu deras. Sedang aku ketakutan.

"Kamu sini dong, aku takut ...," lirihku mengajaknya naik ke kasur.

"Dari tadi kek ngajaknya, di bawah dingin tau," katanya.

"Lah, 'kan kamu yang pingin di bawah. Aku iya-iya aja," balasku.

"Kukira kamu bakal nolak, padahal pengen juga rasain malam pertama, hehe ...," ucapnya lalu terkekeh.

"Begitu toh, ya sudah sini, gak enak juga kalau aku di kasur, kamu di lantai," ajakku lagi.

Dia membuka kaus pendek yang melekat di tubuhnya. Hingga terlihat dada bidang yang menggoda. Netranya menatapku penuh nafsu dan nafas yang menderu. Kedua tangannya mencekal lenganku. Juga tubuhnya berada beberapa centi di atasku.

"Boleh 'kan malam ini aku nakal?" tanyanya membuatku takut.

"Maksudmu?" Aku menaikkan alis.

"Ini." Dia mencium leherku dengan rakus hingga terdapat beberapa tanda memerah di sekitar sana.

Aku meronta tak siap dengan hal seperti ini. Tapi dia menahan tubuhku dengan kuat. Aku dapat merasakan hembusan nafasnya yang memburu.

"Jangan perkosa aku, Mas!" teriakku keras.

Setelah malam pertama kemarin, ternyata benar kata bapak "Lama-lama juga cinta." Tapi, tumbuhnya cinta antara aku dan suami, hanya membutuhkan waktu kurang dari 15 jam. Perjodohan itu tak selamanya menyakitkan. Buktinya, aku bahagia dengan lelaki pilihan orang tua.

Kami terjaga sampai pagi, tentunya menikmati lelaki yang halal. Aku dan suami sangat dekat dan saling mengungkapkan sayang dalam waktu singkat.

Hingga hari-hari telah kami lalui dengan berbagai campuran bumbu di setiap alurnya. Aku mengetahui sifat suamiku, begitupun sebaliknya. Dia itu nyebelin, tapi ngangenin. Hal itu yang membuatku setiap harinya rindu saat ia pergi bekerja.

Suami Nyebelin (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang