[07] :: Ternyata Salah Sasaran

1.3K 235 6
                                    

"JADI, mau bicara apa, Kak?"

Setelah menunggu selama hampir satu jam, Reyki akhirnya bisa meluangkan waktu untuk berbicara dengan Irvi. Kebetulan pelanggan kafe mulai berkurang, sehingga tidak banyak yang harus Reyki kerjakan lagi. Sementara itu Irvi meminta Dhika untuk menunggu sejenak di dalam, karena Irvi butuh privasi. Mereka pun memilih untuk berbincang di halaman depan kafe yang cukup luas.

Irvi tersenyum canggung pada Reyki. Sebelumnya hubungan mereka memang hanya sebatas pelayan kafe dan pelanggan. Reyki bahkan berbicara padanya dengan bahasa formal, yang mungkin akan membuat pembicaraan ke depannya terasa kaku.

"Nggak usah formal gitu," kekeh Irvi, berusaha mencairkan suasana. "Anggap aja lagi ngobrol sama teman. Lagian, kalau dilihat-lihat, kayaknya lo sebaya sama gue?"

Reyki tersenyum kecil, kemudian membalas, "Gue mahasiswa semester lima dan kerja part-time di sini. Kampus gue yang ada di seberang jalan itu."

Kedua mata Irvi seketika membola. Fakta baru bahwa ia ternyata sekampus dengan Reyki, dan Reyki ternyata adalah kakak tingkatnya. "Wah, kating gue ternyata," kata Irvi. "Maaf Bang, nggak tau soalnya. Gue baru semester tiga, di kampus itu juga."

"Santai aja, panggil nama juga nggak apa-apa. Nama gue--"

"Reyki," sela Irvi sambil nyengir. Ia memang sudah mengetahui nama cowok itu sejak pertama kali datang ke Kafe Alaska. "Nggak sengaja lihat name tag lo."

Reyki tertawa singkat. Lagi-lagi cekungan di kedua pipinya muncul, membuat Irvi sampai menahan napas. "Cukup Eki aja," tambah Reyki. "Dan lo Irvia?"

"Cukup Irvi aja," balas Irvi, lalu beberapa detik setelahnya ia baru tersadar akan sesuatu. Jangan-jangan, memang benar bahwa Reyki adalah orang ia cari. Bisa jadi 'kan, si penulis surat yang berinisial E itu adalah Reyki yang menggunakan nama panggilannya?

"Oke, jadi langsung aja, lo mau obrolin apa?" Suara Reyki membuyarkan lamunan Irvi. "Waktu gue nggak banyak soalnya."

Irvi menarik napas sebelum menjelaskan, "Gue selalu dapat surat yang diselipin dalam tisu sejak pertama kali gue ke sini. Gue nggak tau dia siapa, tapi, lo yang selalu nganter pesanan gue. Makanya, elo adalah satu-satunya orang yang patut gue curigai. Jadi ... gue benar, nggak?"

Reyki tergeming. Ekspresinya saat ini tidak dapat terbaca oleh Irvi. Sepuluh detik berlalu, Reyki hanya menampilkan senyum tipis di wajah. "Sesuai dugaan gue, lo pasti bakal nanyain tentang hal ini," tukas Reyki.

"Gue menunggu jawaban lo, Ki," ulang Irvi lagi dengan sedikit lebih serius. Padahal, Reyki sendiri yang bilang kalau dirinya tidak punya banyak waktu. Tapi ia sendiri tidak langsung memberi jawaban yang Irvi butuhkan.

Pandangan Reyki teralih pada segerombolan remaja yang baru muncul dan masuk ke dalam kafe. Selanjutnya, ia kembali menatap Irvi yang tengah menunggu jawabannya. "Gue nggak bisa kasih tahu semuanya sekarang," imbuh Reyki. "Tapi yang jelas, surat itu bukan dari gue. Sori ya, gue harus balik kerja lagi."

Tanpa menunggu respons Irvi, Reyki beranjak dari tempatnya dan kembali masuk ke dalam kafe. Irvi hanya bisa tergeming di tempatnya, merasa tidak puas dengan jawaban yang Reyki berikan. Tapi setidaknya sekarang ia tahu bahwa bukan Reyki orangnya. Lantas, siapa sebenarnya orang berinisial E itu?

Irvi mengusap wajahnya, lalu mengembuskan napas panjang. Ia pun memutuskan untuk kembali ke dalam, tidak enak jika harus membuat Dhika menunggu lebih lama lagi.

"Kusut amat muka lo," komentar Dhika ketika Irvi sudah kembali duduk di hadapannya. "Habis ditolak sama dia?"

"Ih, siapa yang habis nembak, sih?" Wajah Irvi merengut sebal. "Udah gue kasih lihat suratnya juga, gue kira lo bakal langsung ngerti kenapa gue ngajak ngobrol dia."

"Ngerti kok," sahut Dhika. "Jadi, gimana? Beneran dia?"

Irvi menggeleng lemas. "Dia bilang bukan. Terus siapa dong, Dhik? Bisa mati penasaran gue kalau sampe orangnya nggak ketemu juga."

"Memang kalau udah ketemu, lo bakal ngapain?"

Satu pernyataan yang sukses membungkam Irvi. Benar juga. Kalau dipikir-pikir, Irvi memang belum pernah memikirkan hal tersebut. Selama ini ia hanya sibuk menerka-nerka dan bahkan baru mulai mencari tahu hari ini.

Memangnya, setelah mengetahui siapa penulis surat itu, Irvi akan melakukan apa?

---

(7 Februari 2020)

Special Customer [END]Where stories live. Discover now