[17] :: Sebuah Penjelasan

1.2K 215 6
                                    

"JADI, gue harus mulai dari mana?" Dhika bertanya ketika ia dan Irvi sudah duduk berhadapan di salah satu meja. Sejak tadi Irvi lebih banyak diam, memandangi secangkir Caffe Americano yang bahkan sudah tak hangat lagi. Bahkan cewek itu sempat akan pergi jika saja Dhika tidak buru-buru mencegahnya.

Irvi melirik Dhika tanpa minat. "Menurut lo?" Ia malah balik bertanya. "Jujur aja gue bingung, apa sekarang gue harus marah karena selama ini lo udah pura-pura di depan gue, atau justru bersyukur karena penulis surat itu adalah orang yang gue kenal-cukup-dekat?"

Embusan napas panjang pun Dhika loloskan. Sejujurnya, apa yang terjadi hari ini betul-betul di luar dugaan. Dhika tidak menyangka bahwa saat ia datang untuk mengontrol kafe yang dikelolanya, saat itu pula Irvi muncul dengan tiba-tiba. Sebab Reyki berkata kalau akhir-akhir ini Irvi sudah jarang berkunjung ke kafe. Ia tidak ingin Irvi mengetahui semuanya dengan cara dirinya yang mendadak tertangkap basah. Dhika bahkan sudah berencana untuk menemui Irvi secara langsung dan mengungkap kebenarannya.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Dhika sudah terlanjur ketahuan, dan ia tentu harus menjelaskan semuanya pada Irvi apa yang sudah ia lalukan selama ini.

"Lo inget dulu gue pernah bilang kalau gue sempat gap year?" Dhika memulai penjelasannya. Setelah mendapat anggukan dari Irvi, ia pun melanjutkan, "Saat itu gue kerja di Kafe Arizona sebagai barista. Dan seperti yang gue tulis di surat, di sana pertama kali kita ketemu, tapi lo lupa sama gue."

Irvi meringis pelan. "Sori, gue emang beneran lupa."

Dhika tidak menanggapinya. Ia terus melanjutkan ucapannya yang terhenti sejenak. "Lo pasti kaget dengar gue bisa ngomong kayak gini. Tapi serius, waktu gue liat lo nangis di depan gue setelah lo tiba-tiba cerita, gue ngerasain sesuatu yang aneh. Semacam perasaan yang pengin melindungi lo dan bikin lo nggak sedih lagi. Tapi gue tau kalau gue langsung melakukannya saat itu juga, lo pasti bakal kaget. Apalagi lo masih sekolah dan gue cuma seorang barista.

"Terus besoknya, lo nggak pernah datang lagi. Sampai setahun lalu, waktu kita masih jadi mahasiswa baru, gue ketemu lagi sama lo di kampus." Dhika terdiam sejenak. Ia perhatikan Irvi yang tampak terkejut mendengar satu fakta baru tersebut. "Di salah satu event, lo dan teman-teman danus lo buka lapak, cari dana buat acara inaugurasi. Kalau lo sadar, sebenarnya waktu itu gue datang ke booth lo dan beli salah satu barang yang lo jual."

Kali ini, Dhika memberikan kesempatan untuk Irvi memberi tanggapan. Tapi cewek itu cuma diam sambil mulai meminum kopinya, tampak menunggu Dhika kembali berbicara.

Dhika menghela napas berat. "Gue nggak sengaja nemu IG lo di akun himpunan. Waktu gue liat foto lo, Reyki--sepupu gue--nggak sengaja liat juga. Dia bilang, lo adik tingkatnya. Gue nggak berharap apa-apa waktu itu. Bisa nggak sengaja ketemu lo di kampus aja udah syukur. Makanya gue nggak ngelakuin apa-apa, sampai akhirnya gue papasan sama lo yang lagi kesusahan bawa kardus isi barang dagangan." Senyuman miring Dhika sunggingkan mengingat hal itu kembali. "Lo pernah mikir, aneh nggak, ada orang sebaik itu yang mau borong semua dagangan yang lo jual? Kalau emang pernah, sekarang lo udah tau jawabannya."

"Bentar deh," sela Irvi yang mulai penasaran dalam beberapa hal yang Dhika bahas. "Di hari gue ketemu lo, hari itu juga gue pertama kali ke Kafe Alaska dan dapat surat pertama dari lo. Bisa lo jelasin?"

Dhika menyesap Caramel Macchiato-nya, lalu menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi, menatap Irvi lurus-lurus. "Reyki foto lo diem-diem waktu lo sampai di kafe dan dikirim ke gue. Terus dia tanya, apa gue masih mau diem aja atau mau melakukan sesuatu? Nggak tau apa yang gue pikirin saat itu, gue langsung buru-buru ke Alaska dan masuk lewat pintu belakang. Gue tulis surat nggak jelas dan suruh Reyki ngasih surat itu ke lo, gimana pun caranya.

"Gue pikir, nggak ada cara lain supaya gue bisa komunikasi sama lo." Dhika menjeda sebentar. "Ternyata, dari pertemuan itu, gue malah semakin sering ketemu sama lo. Tau gitu, gue nggak perlu surat-suratan. Tapi semuanya udah terlanjur."

Irvi menghela napas dalam, menyugar rambutnya ke belakang. "Tapi waktu gue ke Alaska bareng lo, gue pun dapat surat. Bahkan lo ikut baca surat itu juga, Dhik."

"Waktu gue ke toilet, sebenernya gue nemuin Reyki buat kasih surat yang buru-buru gue tulis buat lo. Begitu pula hari-hari lainnya, di mana gue diem-diem ke Alaska setelah Reyki ngasih tau kalau lo datang."

Kini hening yang memainkan perannya. Irvi sibuk mencerna banyaknya informasi yang ia dapat hari ini, sementara Dhika menunggu respons Irvi dengan setia. Meski kelihatan tenang, dalam hati Dhika tetap harap-harap cemas agar Irvi takkan membencinya.

"Gue nggak nyangka orang kayak lo bisa ngelakuin hal ini. Jadi ini sisi lain lo, Dhik?" Adalah dua kalimat pertama yang Irvi lontarkan setelah cukup lama terdiam. "Dan gue jadi ragu nama lo beneran Mahardhika. Kenapa inisialnya E?"

"Ezra Mahardhika," kata Dhika dengan senyum yang jarang sekali ia tunjukkan pada Irvi. "Nama lengkap gue."

---

(21 Februari 2020)

Special Customer [END]Where stories live. Discover now