[12] :: Sekeping Ingatan

1.1K 221 2
                                    

TADINYA Irvi berniat untuk mengunjungi Reyki di Kafe Alaska karena cowok itu tidak kelihatan di area kampus. Namun, saat baru keluar dari kelas di mata kuliah terakhir, Irvi melihat Reyki tengah berjalan dan akan melewati kelasnya. Ia pun bergegas menghampiri cowok itu. Irvi penasaran, apa balasan surat yang akan dia dapat dari si E itu.

"Eki," panggil Irvi dengan cengiran khasnya saat ia telah berdiri tepat di hadapan Reyki, yang mau tak mau membuat cowok itu langsung menghentikan langkah. "Udah beres kelas?"

"Hai," Reyki balas menyapa. Lesung pipinya muncul kala cowok itu menarik kedua sudut bibirnya. "Baru aja beres. Mau langsung ke kafe, nih. Lo mau ikut?"

Irvi tampak berpikir sejenak sambil bergumam. "Gue lagi nggak pengin ngopi sebenernya," jawab Irvi pada akhirnya. "Tapi ... gue penasaran banget. Surat gue dibalas, nggak?"

"Ah, iya. Gue baru inget." Reyki langsung mencari sesuatu dalam tasnya. Ketika sudah ditemukan, ia mengeluarkan benda tersebut yang ternyata adalah sebuah kertas berwarna biru muda yang dilipat. Lantas Reyki mengulurkan kertas tersebut pada Reyki. "Lo nggak perlu ke kafe kalau pengin lihat balasan suratnya. Nih, Vi."

Irvi menghela napas, lalu meraih kertas tersebut. "Ya udah deh, kalau gue emang nggak perlu ke kafe," tandas Irvi seraya mengembangkan senyumnya lagi. "Thanks banget ya, Ki. Sori juga, kayaknya gue sama penulis surat itu udah bikin repot lo terus."

"Nggak perlu minta maaf, nggak ada yang salah juga." Reyki menyugar rambut hitamnya ke belakang. Senyum hangatnya terbit, pun tatapannya yang tak lepas dari cewek di hadapannya selama beberapa sekon. "Gue justru berterima kasih sama orang itu karena udah minta bantuan gue."

Kerutan di dahi Irvi seketika tampak. "Kok gitu?"

Reyki hanya menahan senyumnya lebih lama tanpa memberi jawaban apapun. "Gue ke kafe dulu ya, Vi," pamitnya, membuat Irvi makin bingung sekaligus penasaran dengan jawaban Reyki.

Pada akhirnya Irvi membiarkan Reyki untuk pergi dengan berkata, "Iya, semangat kerjanya, Ki."

Reyki mengangguk, lalu berlalu dari hadapan Irvi. Selepas kepergian cowok itu, Irvi memandangi kertas yang ada di tangannya. Ia pun mulai membuka lipatannya dan membaca setiap kalimat yang ada di sana dengan penuh rasa ingin tahu.

🔹

Halo, Irvia.

Saya nggak nyangka akan mendapat balasan surat dari kamu, sama sekali tidak terpikirkan oleh saya. Lalu kamu juga bilang kalau kamu ingin bertemu saya, bukannya mendapat sebuah surat yang baru.

Maaf, Irvia. Saya belum bisa memberitahu siapa saya sebenarnya. Saya ingin kamu mengingat siapa saya terlebih dahulu.

Sekarang kamu pasti bingung, 'kan?

Irvia, kita pernah bertemu sekitar dua tahun yang lalu. Saya yakin kamu lupa sama saya, tapi saya tidak pernah melupakan kamu. Saat itu kamu datang ke kafe kecil--tempat saya pernah bekerja dulu--dengan wajah sedih. Saya pikir kamu mungkin sedang ada masalah. Lalu kamu memesan Americano. Ketika saya membuatkan pesanan kamu, tanpa sadar kamu bercerita kalau kamu baru saja putus dengan pacarmu.

Sampai sini, apa kamu sudah ingat?

Saya tunggu balasannya segera, Irvia.

- E -

🔹

Irvi termangu. Secara otomatis otaknya langsung mencari-cari ingatan tentang kejadian yang penulis surat itu katakan. Daya ingatnya memang payah, Irvi akui itu. Tapi tidak mungkin Irvi melupakan semuanya begitu saja.

Dua tahun yang lalu, ketika Irvi baru saja memasuki tahun terakhir SMA-nya, Irvi berpisah dengan pacarnya karena suatu hal. Irvi sempat galau berat, karena hubungannya sudah berjalan selama dua tahun dan harus berakhir begitu saja. Ingatan lainnya muncul, saat itu Irvi memutuskan untuk membeli kopi di salah satu kafe kecil yang letaknya agak jauh dari sekolah, kebetulan ditemuinya saat di perjalanan pulang. Lalu Irvi memesan Caffe Americano. Menunggu sambil duduk di meja bar, pikiran Irvi kembali melayang ke mana-mana. Jika benar kala itu secara tak sadar Irvi bercerita pada sang barista, betapa memalukannya dirinya saat itu. Pantas saja Irvi tidak mengingat bagian yang itu.

Irvi berusaha mengingat apa yang terjadi setelahnya, namun pikirannya mendadak buyar ketika sebuah tangan mendarat di bahunya, membuat Irvi terperanjat dan buru-buru membalikkan badan. Ia mendesah lega saat melihat siapa pelakunya. "Bikin kaget aja lo, Dhik!" semburnya pada Dhika dengan raut kesal.

Dhika tidak merespons. Ia malah menarik Irvi ke dekat tembok. Wajahnya tak menampilkan ekspresi apa-apa. "Ini bukan jalan bapak lo. Kelas belum bubar semuanya, lo cuma akan menghalangi kalau berdiri di tengah-tengah kayak tadi."

"Eh?" Irvi menatap Dhika seperti orang linglung, lalu mengarah ke sekitarnya. Beberapa mahasiswa memang masih berlalu lalang. "Ya ampun, gue sampe nggak sadar berdiri di tengah koridor." Irvi baru menyadari ia terlalu fokus pada isi surat itu dan ingatannya tentang masa lalu.

"Lo mau ke mana habis ini?" tanya Dhika. Pertanyaan yang cukup membuat Irvi agak terkejut. Yah, namanya juga Dhika. Selalu tidak tertebak.

Irvi hanya mengedikkan bahu. "Pulang, mungkin."

"Mau ngopi bareng gue?" tawar Dhika setelahnya, membuat Irvi lebih tercengang lagi. "Nggak, gue lagi nggak minta traktiran dari lo."

Awalnya Irvi agak ragu. Tapi melihat tatapan Dhika yang seakan menuntut Irvi supaya ikut bersamanya, akhirnya Irvi pun memberi jawaban berupa anggukan.

---

(12 Februari 2020)

Special Customer [END]Where stories live. Discover now