[20] :: Pelanggan Spesial

2.6K 259 56
                                    

"KATANYA pernah jadi barista, lo pasti bisa bikin kopi dong, Dhik?" kata Irvi dengan antusias setelah ia dan Dhika sampai di Kafe Alaska dan memilih untuk duduk di meja bar. Masing-masing dari mereka memesan kopi yang sama: Caramel Macchiato.

Dhika mendengkus pelan. "Gue udah lupa caranya."

"Ah, alesan lo doang itu mah," cibir Irvi. Ia menguncir rambut panjangnya yang kini diombre dengan warna biru. Irvi memang suka sekali bereksperimen dengan warna rambutnya. Ia pikir, kalau hanya hitam saja pasti membosankan. Lagipula Dhika sama sekali tidak masalah dengan hal itu.

"Maksudnya, lo pengin gue yang buatin kopi lo?" tanya Dhika dengan salah satu sudut bibirnya terangkat. Tangannya tergerak untuk membenarkan beberapa helai rambut Irvi yang tidak ikut terikat, jatuh tepat di samping wajah.

Irvi mengangguk dengan semangat. "Ayo dong, biar gue tau kopi lo bisa lebih enak dari kopi buatan Bintang atau nggak."

Sorot mata Dhika kontan menajam. "Kenapa jadi bawa-bawa Bintang?"

"Kan lo sendiri yang mengakui kalau kopi buatan Bintang itu yang terbaik," sahut Irvi dengan polos, tak sadar bila Dhika mulai merasa panas.

"Oke, lo buktiin sendiri mana yang terbaik," tandas Dhika. Cowok itu pun beranjak dan berjalan memutar ke balik meja bar, di mana seorang barista biasanya bekerja.

Seorang pria berusia awal 30-an yang menjadi barista di Kafe Alaska terheran-heran melihat Dhika mengambil alih pekerjaannya. "Eh, biar saya aja yang buat, Mas Dhika," kata pria itu dengan sopan. Meski Dhika lebih muda darinya, ia merasa tetap harus bersikap sopan sebab Dhika adalah anak dari pemilik kafe sekaligus orang yang dipercaya untuk mengelolanya.

"Nggak apa-apa. Mas Erik buatin pesanan yang lain aja," kata Dhika, lalu ia menyeringai ke arah Irvi. "Khusus yang ini, biar saya yang buat. Pelanggan spesial soalnya."

Mas Erik langsung paham dan tersenyum penuh arti pada Dhika dan juga Irvi. Lantas ia segera membuatkan pesanan untuk pelanggan yang lain.

Sementara itu, Irvi terkekeh geli. Ia pun memperhatikan Dhika yang tengah fokus meracik kopi pesanan mereka. Tangannya begitu cekatan ketika mencampurkan espresso, saus karamel, serta susu cair hingga menjadi satu kesatuan yang disebut Caramel Macchiato. Kini dua cangkir kopi tersebut sudah tersaji di hadapan Irvi dengan sempurna.

Irvi langsung berdecak-decak. "Wah, gue nggak nyangka skill yang lo punya nggak hilang gitu aja setelah udah lama nggak terpakai," kagumnya.

"Sesekali gue masih suka bikin kopi, buat diri gue sendiri atau keluarga gue," balas Dhika yang kini sudah kembali duduk di sebelah Irvi. "Sekarang, lo yang gue buatin."

Irvi pun meraih cangkir kopinya, mulai menyesap apa yang ada di dalamnya dengan perlahan. Sejujurnya, tidak ada perbedaan dari segi rasa dengan Caramel Macchiato buatan Mas Erik ataupun Bintang. Sama saja. Bedanya, ini buatan Dhika. Ada rasa lain yang membuat Irvi tidak bisa berhenti tersenyum setelahnya.

"Rasanya nggak ada yang spesial sih, Dhik," aku Irvi yang membuat Dhika nyaris kecewa. Tapi Irvi buru-buru menambahkan, "Tapi karena ini lo yang bikin, jadi kayak ada sesuatunya gitu. Apa ya?"

"Ada tambahan cinta tuh!" celetuk Mas Erik yang sontak membuat hampir semua pegawai yang ada di sana tertawa. Untung kafe tidak sedang ramai-ramainya. Tapi tetap saja, Irvi jadi malu sendiri. Sementara Dhika malah ikut-ikutan tertawa.

"Dhik, gue penasaran deh, pengin denger lo ngomong pake saya-kamu kayak di surat-surat yang lo tulis itu," Irvi kembali bersuara setelah keadaan menjadi normal kembali.

Dhika berdecak kesal. "Lo banyak mau hari ini."

"Nggak apa-apa dong, kalau banyak maunya ke elo," kekeh Irvi.

Setelah mendengar ucapan Irvi, Dhika malah terdiam. Untuk sejenak cowok yang kini mengenakan hoodie berwarna hitam itu tampak memikirkan sesuatu. "Sebenarnya bukan gue banget kalau gue ngomong kayak gitu. Itu cuma cara buat nutupin aslinya gue aja. Gue yang ada di dalam surat itu palsu semua."

Irvin tertegun, tak menyangka Dhika akan berkata demikian. "Ma-maaf, Dhik, nggak bermaksud. Lupain aja kata-kata gue tadi. Gue ... suka lo apa adanya, kok."

Seketika Dhika menatap Irvi tak percaya, lalu detik berikutnya senyum miringnya terkembang. "Lo baru aja mengakui kalau lo suka sama gue."

"Jadi ... lo nggak nangkep maksud tersirat dari apa yang gue bilang tiga hari lalu?"

Dhika terkekeh. "Ungkapan dari lo itu punya banyak makna. Tapi gue nggak mau menerka-nerka." Ia menjeda sebentar. Matanya hanya terfokus pada Irvi seorang. "Tapi sekarang semuanya jadi jelas, gue jadi nggak ragu buat minta lo jadi pacar gue."

Irvi nyaris tersedak ludahnya sendiri. "Lo bilang ... lo nggak butuh pacar?" tanya Irvi, mengingat kembali apa yang pernah Dhika katakan beberapa waktu lalu.

"Iya," balas Dhika dengan senyum hangat yang akhir-akhir ini sering ditunjukkannya di depan Irvi. "Gue nggak butuh kalau ceweknya bukan lo."

Wajah Irvi mulai tampak memerah sekarang. Perlahan senyumnya pun turut mengembang. "Semuanya jadi jelas, gue juga jadi nggak ragu buat nerima lo."

Sorak sorai bahagia tiba-tiba terdengar dari semua pegawai kafe yang diam-diam menyaksikan adegan drama dadakan di dalam kafe. Begitu pula dengan Reyki yang sejak tadi hanya fokus bekerja tanpa mengganggu dua insan yang tengah dilanda asmara itu.

Mereka semua pun jadi saksi dimulainya kisah baru antara Dhika dan Irvi.[]

THE END.

A/n

Alhamdulillah, akhirnya tamat! Dan sesuai target, tamatnya masih di bulan Februari.

So, gimana pendapat kalian tentang short story-ku kali ini? Aku tahu karyaku belum ada yang sempurna karena aku masih amatiran huhu. Tapi aku sangat mengapresiasi kalian yang udah luangin waktu buat baca cerita ini. Terima kasih banyak 😘Aku sendiri bangga bisa menyelesaikannya padahal udah mulai masuk kuliah :')

Aku, Irvi, Dhika, dan semua tokoh yang terlibat pamit dulu ya.

See ya!

With love,

dindaarula.

(24 Februari 2020)

Special Customer [END]On viuen les histories. Descobreix ara