[18] :: Pengakuan Reyki

1.3K 203 7
                                    

DHIKA sudah memberikan penjelasan dengan cukup detail. Tapi entah kenapa masih sulit bagi Irvi untuk mempercayai semuanya. Mana mungkin sih, Dhika yang agak cuek, menyebalkan, dan terkadang omongannya pedas itu sama dengan orang yang selama ini menuliskan surat-surat dengan bahasa yang cukup formal tersebut? Benar-benar di luar ekspetasi.

Sementara Dhika tengah membicarakan sesuatu dengan beberapa pegawai di bagian kitchen, Irvi duduk termenung di kursinya sendirian. Inginnya segera pulang dan mengistirahatkan kepalanya sejenak sebab terlalu banyak menerima informasi yang tak terduga. Tapi cuaca tidak mendukung. Hujan tiba-tiba turun cukup deras, membuat Irvi jadi tidak bisa ke mana-mana.

"Hai, Vi."

Perhatian Irvi teralihkan. Reyki tiba-tiba saja muncul dan menempati kursi yang tadi ditempati Dhika. Wajah Irvi kontan merengut sebal. "Lo bohong ya, bilang ada promo setengah harga?" tudingnya langsung pada cowok di hadapannya itu. "Gue sampe dikira ngibul sama mbak-mbak yang jaga kasir tau, Ki!"

Reyki menampakkan cengiran tak berdosanya. "Sori, Vi. Kalau nggak gitu, lo nggak bakalan datang, sih. Tadi kebetulan banget Ezra--ah, maksud gue Dhika, lagi kontrol kafe. Gue pikir ini kesempatan bagus buat kalian bicarain masalah surat itu. Yah, sebenernya setelah gue coba pancing, dia emang udah mau ngomong langsung ke lo. Tapi dia kelamaan mikir, greget sendiri gue jadinya."

Alis Irvi terangkat sebelah. "Pancing gimana maksud lo?" tanyanya bingung.

Reyki meringis pelan. "Sori nih sebelumnya. Gue sempet bilang ke Dhika kalau gue tertarik sama lo dan taunya berhasil. Dia langsung keliatan kesal dan ngaku nyesel udah ngelibatin gue yang ternyata--pura-pura--berkhianat."

"Ya ampun, jahat banget lo Ki," komentar Irvi setengah bercanda.

"Tenang, gue udah jelasin semuanya sama dia tadi," kekeh Reyki. "Udah nggak ada salah paham lagi kok, Vi."

Irvi manggut-manggut. Ia tampak berpikir sejenak, lalu melontarkan sebuah pertanyaan lain. "Dhika kenapa ngenalin dirinya pake nama Mahardhika ya, Ki? Kalau di surat itu, udah jelas buat ngecoh gue, 'kan? Tapi lo juga manggil dia dengan sebutan Ezra, bukan Dhika."

"Dhika belum cerita soal itu emang, Vi?" tanya Reyki, dan Irvi lekas menggeleng. Reyki pun menarik napas sejenak. "Dhika sebenernya nggak suka dipanggil Ezra karena itu nama pemberian ayahnya yang udah jadi mantan suami ibunya. Ayahnya selingkuh, makanya Dhika sakit hati banget dan bisa dibilang jadi benci dengan nama itu. Tapi gue nggak pernah ganti panggilan gue ke dia. Awalnya dia suka marah, tapi sekarang udah nggak terlalu peduli kayaknya."

Irvi terkesiap, tidak menyangka Dhika pernah merasakan hal pahit seperti itu dalam hidupnya. Kalau dipikir-pikir, Dhika memang orang yang tertutup, tak pernah menceritakan apa pun tentang kehidupannya. "Terus, pemilik kafe ini?" tanya Irvi lagi dengan hati-hati.

"Punya ayah tirinya," kata Reyki, lalu ia berdeham dan menegakkan tubuhnya. "Sebenernya gue nggak berhak ceritain ini semua sih, tapi kalau lo nanya langsung ke dia, gue jamin dia belum tentu mau jawab."

Kali ini Irvi terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Tolong jangan benci sama Dhika ya, Vi," pinta Reyki kemudian dengan wajah memohon. "Gue paling tau dia itu tipe orang yang nggak gampang buat nunjukin apa yang dia rasain ke semua orang, terutama lo."

Irvi tak langsung menjawab. Ia merenungkan kembali tentang kedekatannya dengan Dhika, tentang surat-surat itu, tentang kejujuran Dhika, dan perkataan Reyki barusan. Irvi senang bisa mengenal Dhika. Meski menyebalkan, Dhika tetap orang baik. Lalu surat-surat yang ditulis Dhika pun sama sekali tidak ada yang merugikannya, hanya sebatas ingin membuat Irvi mengingat siapa Dhika sebenarnya--walau tidak berhasil seratus persen.

Lantas apa yang membuat Irvi harus membenci Dhika? Tidak ada, Irvi langsung bisa menjawabnya dalam hati.

Irvi mengembuskan napas panjang-panjang. Ia berpaling ke arah kaca pembatas yang bisa membuatnya melihat dengan jelas keadaan di luar. Matanya membulat ketika tidak sengaja melihat Dhika duduk di salah satu meja yang ada di teras kafe, tengah mengisap rokok lalu mengembuskan asapnya ke udara. Sejak kapan Dhika ngerokok? Atau emang gue yang nggak pernah tau? batin Irvi.

"Oh iya Vi, gue mau minta maaf juga soal yang ini."

Suara Reyki kembali mengalihkan fokus Irvi. Cewek itu mengerjap, lalu bertanya, "Soal apa, Ki?"

"Sebenernya temen lo udah tau kebenarannya sebelum lo ke sini."

"Hah? Temen gue yang mana?"

"Disa."

Sontak Irvi teringat kata-kata aneh Disa di kelas tadi sebelum kawannya itu tiba-tiba pergi meninggalkannya sendiri. "Kok bisa dia tau duluan?!" tanyanya dengan tidak santai.

"Binder punya Dhika nggak sengaja jatoh di perpus. Di dalamnya ada surat balasan dari lo, dan Disa yang nemuin binder itu." Reyki terdiam sejenak. "Gue yang kebetulan lagi di sana dan ngeliat itu semua refleks ngerebut binder itu dan narik dia ke pojokan. Gue suruh dia buat tutup mulut.

"Tapi gue nyesel, nggak seharusnya gue nggak bersikap kasar sama Disa," lanjut Reyki dengan wajah menyesal. "Lo bisa sampein maaf gue ke dia, nggak?"

Irvi mendengkus. "Lo bilang sendiri aja deh, Ki. Gue pusing, hari ini banyak banget informasi yang gue dapat."

"Ya udah, gue minta kontak Disa kalau gitu."

"Buat minta maaf ya Ki, bukan buat modus!"

---

(22 Februari 2020)

Special Customer [END]Where stories live. Discover now