[10] :: Untung Bukan Bapak-Bapak

1.2K 225 6
                                    

TANPA memberitahu Dhika, Irvi pergi ke Kafe Alaska setelah pulang kuliah. Bukannya tidak mau mentraktir kopi seperti yang sudah mereka bahas kemarin. Tapi hari ini Irvi ingin menemui Reyki, mengorek informasi mengenai penulis surat yang sebenarnya. Irvi yakin Reyki pasti mengetahui sesuatu.

Baru satu langkah Irvi memasuki kafe, ia langsung menemukan Reyki yang tengah membereskan salah satu meja di sana. Senyum Irvi pun terkembang, lalu segera menghampiri Reyki yang belum sadar akan kedatangan Irvi. "Hai, Ki," sapa cewek itu.

Reyki kontan menengok, pekerjaannya sejenak ia hentikan. Kedua matanya langsung membola. "Eh? Hai, Vi," sapanya kasual. "Lo datang lagi akhirnya."

Irvi menampakkan cengirannya. "Iya, kebetulan lagi pengin Caramel Macchiato."

"Oh? Ya udah, lo duduk aja dulu. Habis ini gue langsung pesanin. Lo tinggal tunggu," ujar Reyki yang langsung diangguki oleh Irvi. Cowok ini memang baik sekali, pikirnya. Jadi beginikah rasanya mendapatkan pelayanan spesial?

Irvi pun segera menempati meja yang di dekatnya ada stop kontak. Baterai ponselnya nyaris habis, untung saja Irvi membawa charger hari ini. Setelah memastikan daya baterai mulai terisi, Irvi melihat ke arah meja bar. Di sana Reyki tengah menuliskan sesuatu pada buku catatan kecil yang sepertinya biasa ia gunakan untuk menuliskan pesanan pelanggan, lalu cowok itu tampak mengatakan sesuatu pada salah seorang barista. Mungkin Reyki telah memesankan apa yang Irvi inginkan.

Irvi mengalihkan pandangan pada ponsel yang bergetar pendek-pendek, menandakan ada chat yang masuk. Sejenak Irvi fokus pada ponsel hanya untuk melihat chat yang diterimanya.

"Nih pesanan lo, Vi." Reyki akhirnya muncul setelah beberapa menit berlalu sambil membawa nampan dengan secangkir Caramel Macchiato di atasnya dan juga selembar tisu yang tidak pernah terlupa. Cowok itu pun menaruh keduanya di atas meja.

"Apa ada surat lagi?" tanya Irvi memastikan.

Reyki tersenyum kecil. "Selalu ada surat setiap lo ke sini."

Irvi mengangguk paham. "Nanti ke sini ya, Ki, kalau lo nggak sibuk."

"Oke," balas Reyki. "Kalau gitu, gue balik kerja dulu." Setelah mendapat anggukan dari Irvi, Reyki pun membalikkan badan dan pergi meninggalkan meja Irvi.

Setelah itu, Irvi segera memeriksa tiap lembar tisu dan menemukan kertas berwarna hijau muda di sana. Ia pun meraihnya dan membuka lipatannya, lantas membaca apa yang tertulis di sana.

🔹

Halo, Irvia.

Apa kabar? Saya yakin kamu pasti baik-baik saja. Caramel Macchiato untuk hari ini, eh? Menarik juga, karena itu salah satu kesukaan saya, kalau kamu ingin tahu.

Ngomong-ngomong, makanan di sini tidak buruk juga kok, saya perhatikan kamu selalu pesan minuman sejak pertama kali datang.

Ah, saya tidak memaksa, itu terserah kamu, tenang saja. Selamat menikmati Caramel Macchiato-mu, Irvia.

- E -

🔹

Irvi mengembuskan napas pelan selepas membaca isinya. Penulis surat itu tampaknya memang selalu memperhatikan apa saja yang terjadi dan apa yang dilakukan Irvi. Tapi, siapa? Di mana dia bersembunyi? Apa jangan-jangan pegawai yang lain? Atau mungkin seorang pelanggan? Banyak sekali kemungkinan di sini, dan hanya Reyki yang tahu soal itu.

"Apa katanya hari ini?" Suara Reyki kembali terdengar lagi.

Kebetulan sekali.

Cowok itu menarik kursi di hadapan Irvi, kemudian mendaratkan bokongnya di sana. Reyki melirik ke arah kertas yang tengah dipegang oleh Irvi.

"Dia promosiin makanan di sini, karena gue selalu pesan minuman terus," dengus Irvi. "Gue jadi makin penasaran siapa orangnya. Tapi, entah kenapa gue yakin orang itu ada hubungannya sama kafe ini."

Satu alis Reyki terangkat. "Maksudnya?"

"Yah, kayaknya orang ini itu emang selalu berada di kafe ini, mungkin pegawai yang ada di sini, atau pemiliknya, atau--"

"Ah, lo bener."

"Bener apa?"

"Orang itu." Reyki menjeda sebentar. "Yang punya kafe ini."

Seorang pemilik kafe dalam bayangan Irvi adalah pria mapan berusia sekitar dua puluh tujuh sampai tiga puluh tahun ke atas. Tidak mungkin jika seseorang yang seumuran dengannya, masih terlalu muda untuk menjadi seorang pemilik kafe. Lalu, jika Reyki bilang penulis surat itu adalah pemilik Kafe Alaska, apa mungkin pengagum rahasianya itu merupapakan seorang Om-Om? Irvi jadi ngeri sendiri membayangkannya!

"Bukan pemilik, sebenernya," Reyki buru-buru meralat saat melihat perubahan ekspresi pada wajah Irvi. "Orang itu cuma diberi tanggung jawab langsung oleh pemiliknya untuk mengelola kafe ini."

Irvi segera saja membuang napas lega. "Gue sampai mikir kalau pemiliknya bapak-bapak, tau nggak!"

Reyki terkekeh. "Sori, deh. Pemiliknya emang bapak-bapak, tapi dia bukan. Orang ini kira-kira masih seumuran sama gue."

"Lo nggak bisa ngasih tau gue langsung aja gitu Ki, siapa orangnya?"

"Nggak bisa, gue udah janji. Gue cuma perantara aja di sini."

Irvi mendesah kecewa. Meski tidak bisa mengetahui langsung siapa orangnya, ia harus menghargai Reyki yang posisinya hanya sebagai penghubung antara penulis surat itu dengan dirinya. Entah apa alasan Reyki sampai rela melakukannya, Irvi merasa tidak berhak untuk menanyakannya.

Irvi pun menatap Reyki lamat-lamat, lantas berkata, "Kalau gitu, apa gue bisa kasih balasan surat untuk orang itu?"

---

(10 Februari 2020)

Special Customer [END]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin