#03

99K 6.9K 459
                                    


Malam ini gue tampil dengan gaun merah maroon yang dilengkapi riasan tipis. Gue bukan tipe yang menyukai make-up. Memoles tipis wajah gue saat ini, sepertinya sudah menjadi hal terniat yang gue lakukan dalam mempercantik diri.

Gue tentunya nggak tahu, alasan apa yang membuat gue harus tampil dengan bentuk seperti ini. Bunda bilang, gue cuma perlu bersiap-siap.

Diluar sana, suara riak mulai terdengar. Ah ... gue lupa kalau ada Abang gue juga yang akan turut serta malam ini. Tentunya gue tahu kalau acara yang akan gue datangi sekarang adalah sebuah acara serius.

Dan dalam hitungan menit yang berlalu, kaki gue sudah menapak sempurna di Canting. Dengan kaki yang terus mengikuti langkah Ayah di depan sana, kening gue sedikit berkerut saat melihat Ayah tersenyum lebar. Menerima sambutan seorang pria yang sebaya dengannya dan seorang wanita yang mendampingi pria tersebut— yang gue tebak istrinya.

Rasa penasaran gue tak dapat di bendung lagi. Hal yang berikutnya gue lakukan adalah menempelkan tubuh agar lebih dekat kearah Bunda, "kita mau ngapain sih, Bun?" tanya gue. Gue mendengus kesal saat tak mendapatkan sebuah jawaban melainkan melongosnya Bunda berjalan mendahului gue. Meninggalkan gue di belakangnya, bersama Abang gue yang tentunya hanya diam dari tadi.

"Vira sama Abang sini dulu, salim dulu sama Tante dan Om."

Duh, gue gak tahu harus ngapain. Jadi dengan langkah tergesa, gue mengulurkan tangan untuk menjabat sepasang pasangan dihadapan gue. Mendapatkan elusan pelan di atas kepala gue, yang gue lakukan hanyalah tersenyum canggung.

Bunda sama Ayah gak kasih gue briefing dulu sebelum pergi. Mereka gak kasih tahu gue siapa mereka. Gue canggung, Ya Tuhan!

"Cantik sekali, Vira."

Jangan harap gue memberikan ekspresi lain selain tersenyum.

Mengalihkan tatapan, Bunda dan Ayah melanjutkan perbincangan dengan dua orang di hadapan mereka. "Anakmu mana? Nyusul? Enggak kelihatan disini."

"Sebentar lagi, katanya sih ada observasi ke lapangan jadi tadi baru pulang sehabis Maghrib. Dia siap-siap dulu, bersih-bersih badan jadi nyusul katanya."

Mendengar sapaan yang masuk memenuhi indra pendengaran, sontak semua orang yang berada di meja ini mengalihkan tatapan. Mendapati seorang pria berlapiskan polo shirt bewarna hitam dan celana khaki—yang menurut gue kelewat santai—membuat gue kebingungan seketika. Gue gak dapat melihat dengan jelas wajahnya, karena saat gue menoleh ia sedang menyalami tangan Ayah dan Bunda yang membuat kepalanya tertunduk.

"Maaf, Om dan Tante sudah menunggu lama ya?" ujarnya ramah lalu mendapatkan gelengan dari Ayah.

Demi Tuhan, jangan tanyakan seperti apa ekspresi wajah gue sekarang. Kepala gue gak lagi tertoleh, gak memiliki niat untuk mengetahui wajah pria ini dengan lebih jelas meskipun batin gue terus bertanya siapa dia.

Wanita di hadapan gue—yang gue tebak adalah Ibu dari pria yang masih berdiri di sisi kanan meja—mempersilahkan anaknya untuk menduduki bangku kosong yang sialnya tepat berada di samping gue. Melihat ia sedikit berbincang santai dengan Ayah dan Bunda, semakin membuat pemikiran buruk gue bersarang.

Duh, jangan bilang...

"Vira, salaman dulu sama calonnya. "

Calonnya. He said, calonnya. Gue perjelas, CALONNYA!

Gue gak lupa kalau Ayah dan Bunda akan mempertemukan gue dengan orang yang akan dijodohin dengan gue hari ini. Tapi saat tadi pagi melihat Ayah dan Bunda cuek-cuek saja membuat gue berpikir kalau pertemuan itu gak akan terlaksana hari ini. Dan bodohnya gue gak curiga sama sekali saat tadi Bunda mengajak gue dinner dan menyuruh gue untuk tampil dengan anggun malam ini.

"Ra, malu-malu gitu sampai mukanya merah. Ini lho, yang Ayah bilang mau di kenalin sama kamu. Ya kalau lancar, secepatnya akan menjadi calon suami," Ayah berujar, kalimat yang ia lontarkan membuat beberapa orang tertawa menggoda. Ini sama sekali nggak lucu, kenapa mereka harus tertawa?

Calon suami as in calon suami yang selama ini gue tahu kan? Maksud gue, beneran definisi orang yang bakal gue nikahi? Dan si dia itu sudah ada tepat di samping gue sekarang. Meskipun gue belum melihat jelas wajahnya.

Bangsat.

Gue tahu kalau gue bakal di jodohin, harusnya gue lebih bisa mengatur diri. Menolehkan kepala, ekspresi terkejut gue tak dapat dibendung saat sudah melihat wajah pria ini secara jelas. Jelas banget, pori-porinya juga keliatan dari sini kalau lo semua mau tahu. Abaikan ... yang terpenting sekarang cowok di samping gue ini kok jadi kayak berubah wujud ya? Wajahnya itu ... kayak nggak asing. Serius.

Lelaki ini menyunggingkan senyum tipis. Gue melotot tajam.

INI DOSEN GUE! I explain, DOSEN GUE!

Gue mau teriak, kalau gak mengingat banyak orang yang juga ada disini. Ini gak mungkin banget, kenapa dia yang kerap gue kenal seperti tembok ini mendadak akan menjadi orang yang akan di jodohkan dengan gue?!

"Pak? Ah, seliwer nih mata gue. Gak mungkin banget, ini pasti gue di ikutin," gue bergumam pelan.

Diikutin, pemikiran bodoh.

"Saya gak ngikutin kamu."

Gue menggeram kesal. Mendengarkan pria ini berujar dengan intonasi tenang semakin memancing emosi gue.

"Lho, sudah kenal ya?" lagi, pertanyaan itu gue dapat dari Tante... Ah, siapa nama Tante ini?

Gue mengangguk kecil. Dengan ragu mengucapkan, "dosen saya, Tante." Tentunya, setelah itu pekikan senang terdengar. Sepertinya sangat bersyukur karena kami berdua sudah saling mengenal. Padahal, gue sangat jarang berbicara dengan pria ini. Kalau di kelasnya pun gue nggak aktif. Jadi, ya cuma kenal sebatas formalitas kehidupan mahasiswi dengan dosennya saja.

Dan Ayah, mendapati sudut bibirnya tertarik dan sudut mata yang mengerut dengan sorot tenang membuat gue yakin kalau gue sudah tidak memiliki pilihan lagi.

"Kalian sudah sama-sama tahu, kalau kami sangat ingin memperkenalkan Alvin dan Vira. Jadi, bagaimana? meskipun keputusan ada ditangan kalian, tentunya kami sangat berharap sedikit lebih banyak sama kalian berdua."

Sedikit lebih banyak, katanya. Jangan percaya, buktinya Ayah saja gak memberikan pilihan kepada gue.

"Vira terserah, kalau Ayah dan Bunda setuju begitupula dengan Vira."

Grrrrrr, Ayah tersenyum tipis lalu mengacungkan jempolnya. Kerja bagus, mungkin. Ya sudah lah, meskipun gue ingin sekali menjawab, 'Nggak, saya nggak setuju' yang gue yakini hanya akan berujung sia-sia.

"Kalau memang ini yang terbaik, I will try my best. Saya setuju," ujar lelaki ini, lalu semuanya mendesah lega. Kecuali gue.

Apa lagi? Silahkan nikmati hidup untuk menjadi pasangan seorang Alvin selamanya, mungkin.

***

Revisi version, gak banyak yang berubah kok. Tapi kalau yang baca dari lama pasti sadar kalau ada yang hilang di chapter ini. 😂

Ada yang tahu scane apa yang hilang?

COLD LECTURER (REVISI)Where stories live. Discover now