#04

96.9K 5.9K 425
                                    

Duduk di hadapan seorang Alvin tentunya adalah hal yang tidak menyenangkan. Lelaki ini, mendadak memboyong gue ke salah satu cafe yang jaraknya sedikit jauh dari kampus. Sepertinya mencari aman. Tentunya, gue mengiakan sebab tahu bahwa kami membutuhkan sedikit lebih banyak berbicara. Jika tidak mengingat bahwa lelaki yang kini sedang menyilangkan kedua tangan di dada dan punggung kokoh yang merapat pada kursi ini adalah calon suami gue, mungkin kegiatan yang tidak menyenangkan ini sudah gue tolak sedari tadi.

"Kamu mau apa?" tanyanya, sesaat setelah seorang waiters datang menghampiri meja yang kami duduki.

Gue mengambil buku menu, tanpa banyak berpikir memilih salah satu makanan yang tertera di buku menu tersebut. Lalu menyebutkannya kepada waitres yang sudah siap sedia dengan kertas dan pena yang ia genggam. Duduk di hadapan seorang Alvin, harusnya sedikit membuat gue lebih segan. Namun memilih jawaban 'terserah' bukanlah hal yang tepat.

Waitres tersebut mengangguk, mengulangi kembali menu yang kami pesan masing-masing lalu menjalankan langkahnya menjauh dari meja bernomerkan 09 ini. Dan saat itu pula, suara yang tadi mengisi kini hanya terdengar dari riak cafe yang ramai sebab kini adalah jam makan siang. Gue dan dia gak mengeluarkan suara apapun, melainkan tatapan yang saling berserobok. Bukan, ini tentunya bukan tatapan dalam nan dingin yang sering kali gue perhatikan. Melainkan ... seperti tatapan penuh ketenangan.

"Kita lagi nggak di kampus. Dan sekarang, keadaan kita berbeda. Saya gak butuh basa basi, bagaimana dengan perjodohan ini?" tanyanya.

"Pak, bisa nanti bahasnya? Setidaknya tunggu makanannya datang dan biarin saya mengisi perut dengan tenang. Saya benar-benar lapar dan membahas ini membutuhkan banyak tenaga," gue menjawab.

Ucapan yang gue lontarkan, tak lantas membuat ia terdiam. "Kamu gak cinta dengan saya?"

What did he say? kamu gak cinta dengan saya? dia benar-benar mempertanyakan hal itu? gue menggeleng takjub.

"Enggak. Saya gak mungkin cinta sama Bapak."

"Saya menarik. Gak bisa di pungkiri kalau banyak mahasiswi yang mengincar saya. Kenapa tidak dengan kamu?"

Ini cowok sebenarnya kenapa? mau pamer kalau dia banyak yang suka? gue gak butuh, serius.

Julukan 'famous' yang ia dapatkan di kampus tak lantas membuat gue bangga bahwa hal yang mahasiswi angan-angankan kini sudah berada dalam genggaman gue. Kenyataan bahwa dari semua itu gue lah pemenang tahta tertinggi tak sedikitpun membuat gue tertarik hingga memilih mencintai lelaki yang dengan bodohnya menanyakan hal seperti tadi. Tak sedikitpun. Ini justru mengerikan.

Mendengus pelan saat Pak Alvin menaikkan kedua alisnya, gue menjawab. "Saya bukan golongan mereka."

Ia mengangguk pelan, lalu mulutnya terkunci rapat. Seperti paham bahwa gue tak ingin melanjutkan pembicaraan ini sebelum mulut gue sudah menghabiskan satu piring makanan.

Sudah gue katakan, membahas ini membutuhkan banyak tenaga.

Hingga menit yang berlalu, saat suapan terakhir chicken parmigiana sudah masuk sepenuhnya ke dalam mulut gue dan tertelan menyelusuri organ pencernaan, maka pada saat itulah dentingan pisau dan garpu yang diletakkan di atas piring menjadi tanda penutup bahwa makan siang ini sudah selesai.

Here we go, kedua mata kami sudah saling menatap lagi. Inilah saatnya.

"Saya gak cukup mengenal kamu," Alvin membuka suara, membuat gue tergerak untuk menjawab setiap kata-katanya.

"Lebih tepatnya kita, kita gak saling mengenal."

"Kamu punya pasangan? atau yang sedang dekat?" Alvin kembali bertanya. Hrgggg, pacar terakhir gue aja pas SMA. Dengan tegas gue menggeleng, " nggak, saya gak punya. Kalau Bapak mau tahu, saya di putusin tanpa sebab waktu SMA."

COLD LECTURER (REVISI)Where stories live. Discover now