#06

87.9K 5.6K 110
                                    

Alvin bilang, telusuri jalannya bersama-sama. Hadapi seperti layaknya pasangan biasa. Namun, tepat di hari ke tiga status kami berubah—ia sama sekali gak ada mengajak gue berbicara—kecuali kalau ada yang penting.

Gue bingung, sebenarnya pernikahan apa yang sedang gue jalani saat ini. 3 hari yang sudah terlewati tentunya berhasil membuat gue stres, saat bertatapan tanpa sengaja pun ia hanya melontarkan senyum tipis. Ini kaku banget serius, bersyukur sejak kemarin gue sudah berada di rumah orang tua gue lagi. Ya ... meskipun besok gue bakal pindahan.

Dan sekarang, gue sedang duduk dengan gelisah di kasur. Menatap kearah Alvin yang baru saja usai memakai kemejanya—di kamar mandi, tentunya. Hari ini gue ada kelas, pukul 10 tepatnya. Gue ragu, apakah harus memulai pembicaraan terlebih dahulu atau pergi saja tanpa izin setelah Alvin berangkat kerja.

Alvin sialan, kenapa dia gak berinisiatif sedikitpun mengajak gue berbicara.

Terang saja, gue merasa malu jika harus memulai pembicaraan lebih dahulu. Tetapi diluar itu, di dalam benak teringat pesan
Bunda. Kalau sudah punya suami, segala yang kita lakukan itu usahakan sepengetahuan dia, karena apa yang kamu lakukan di luar sana tentunya juga akan bersangkutan dengan dia. Mau apa-apa harus izin dulu. Bisa ya, belajar jadi istri yang baik. Begitu kata Bunda, beberapa hari yang lalu.

Rasa gengsi yang tadi menggoroti, gue singkirkan perlahan. Lebih baik begini ... bukannya kami berdua sama-sama sedang berusaha? meskipun dua hari ini, gue sama sekali belum melihat effort yang Alvin keluarkan untuk merubah suasana canggung diantara kami menjadi layaknya pasangan biasa. Ya ... gue maklumi tentunya, karena gue juga merasakan hal itu. Ini baru 3 hari pernikahan, masih banyak waktu untuk membiasakan diri masing-masing dalam sebuah ikatan pernikahan.

"Pak," gue memanggil, dengan cepat Alvin menolehkan kepala,"apa?" jawabanya.

"Saya hari ini ngampus, Pak."

Tubuhnya yang tadi membelakangi gue kini berbalik. Membuat gue sedikit gugup, duh ... padahal sejak 2 hari belakangan, wajah ini yang kerap gue temukan dengan mata yang terpejam setiap pagi. 

Melihat kepalanya mengangguk, gue menebak bahwa itu adalah sebuah jawaban. Hanya itu, tidak mengeluarkan sepatah kata sedikitpun. Sepertinya.

Ini sudah jam 9, sementara kelas gue jam 10. Lebih baik gue bersiap-siap. Hari ini gue ada 3 kelas, dan itu akan menghabiskan waktu hingga Maghrib nanti. Gue membangkitkan tubuh, bergerak untuk menyiapkan barang yang ingin gue bawa. Gak perlu berganti pakaian, sebab tubuh gue sudah terbalut kemeja flanel dan skinny jeans.

Baru saja gue ingin mengambil totebag yang tergantung, pergerakan tangan gue terhenti saat suara Alvin menggema menyahuti, "saya tunggu di depan ya. Kamu cepat siap-siapnya."

Eh? Ini maksudnya gimana?

"Vira?" mendengar Alvin memanggil, dengan cepat gue
menggelengkan kepala.

Ya ampun, gue sama sekali gak berharap untuk di antar ke kampus.

"Gak usah, Pak. Saya bisa bawa motor kok."

"Memang saya ada bilang kalau saya bakal antar kamu? saya cuma bilang kalau saya tunggu di depan."

Ah ... begitu ya, gue dengan spontan memalingkan wajah karena malu. Gue kira, maksud dari 'nunggu di depan' bertujuan untuk berangkat bersama. Namun di dalam batin, sempat merutuki Alvin yang malah tertawa. Gue layangkan pelototan tajam kearahnya, yang justru membuat ia menggeleng-gelengkan kepala.

Sialan.

Menyadari bahwa pelototan yang gue berikan tak kunjung usai, Alvin memilih untuk memberhentikan tawanya. Lalu berujar, "saya bercanda. Saya tunggu di depan, saya antar kamu."

COLD LECTURER (REVISI)Where stories live. Discover now