#13

75K 5.4K 325
                                    

Gue membuka knop pintu kamar ketika setibanya di rumah. Berbaring telungkup den menoleh ketika tubuh menjulang Alvin berdiri di ambang pintu.

"Kamu mau tidur pakai kemeja dan jeans kayak gitu?" Gue bergeming, menggelang kearahnya dan langsung loncat dari kasur.

Baru menyadari bahwa gue belum mengganti pakaian sama sekali. Segera membuka lemari, mencari dress terusan untuk bersiap mengunjungi alam mimpi. Gue melirik Alvin sekilas, melihat bahwa pria itu kembali menutup pintu dan keluar dari kamar, membawa satu botol tumbler yang biasanya selalu tersedia di samping ranjang. Alvin mengerti, bahwa ketika malam tiba gue sering sekali kehausan dan berakhir turun hanya untuk meneguk segelas air dingin.

Gue tersenyum tipis, melihat Alvin yang ingat akan hal itu. Beralih memasuki kamar mandi dan membersihkan tubuh di dalam. Lalu saat gue keluar, tubuh tegap itu sudah duduk di sofa kecil yang biasanya selalu menjadi tempat hinggap bagi Alvin sebelum beralih menaiki ranjang.

Gue pun sama, duduk di depan meja rias dan memakai beberapa skincare. Namun, tampak dari pantulan kaca —— di ujung sana —— Mata Alvin lekat menatap gue dengan intens, membuat bulu kuduk gue berdiri merinding.

Lalu ketika gue berdiri, gue mengeretkan tali kimono. Menutup setipis kain transparan yang gue yakin Alvin bisa melihat itu dari belakang. Lalu, melepaskan jedai yang sedari tadi menggelung indah rambut gue, membiarkannya tergerai bebas.

Dan ketika hal itu gue lakukan, tampak atensi Alvin semakin memandang lekat. Gue bergedik, mengabaikan tatapan tersebut dan menarik selimut untuk menutupi paha sebab terusan tipis yang bagian atas dan punggungnya ini mampu mencetak kulit putih gue dengan jelas tak mampu menutupi seluruh bagian kaki gue.

"Udah mau tidur?" Suara itu mengintrupsi segala pemikiran gue. Membuat gue menggeleng, "belum terlalu ngantuk, Pak."

Ia menggangguk, naik keatas ranjang yang sama. Tetap gue abaikan, memilih menggeser layar ponsel untuk melihat sosial media.

Duh, kenapa pula sih Alvin harus menatap gue terus?

"Nggak masuk angin kamu pakai kayak gitu?"

Gue menyerngit, "kan emang biasanya gini."

"Diatas kepala kita AC."

"Terus?"

Alvin menggeram, mendelik kesal kearah gue. "Kemarin-kemarin nggak seterbuka itu."

"Perasaan Bapak aja," gue beralih, membiarkan Alvin mendengus kesal untuk yang kesekian kalinya.

Memang apa masalahnya? Sedari lama tepatnya sebelum menikah, gue memang suka memakai terusan berbahan tipis seperti ini. Ya ... memang sih di awal menikah gue sempat malu. Tapi untuk apa? toh, sudah menginjak beberapa bukan menikah saja, Alvin tak pernah sedikitpun melirik gue.  Jadi gue rasa, memakai baju yang seperti ini juga tak ada masalahnya.

Tubuh Alvin berbaring, menyamaratakan dengan tubuh gue yang terlentang. Lalu dia melirik sekali lagi, membuat gue semakin keheranan.

Dia ini kenapa, sih?

"Ah, curang kamu."

Gue mengernyit bingung, "kamu mau ngapain, sih, Vira?" ia kembali bersuara. Gue menggeleng. Kan, mau tidur tujuannya.

Tubuh yang tadi berbaring telentang itu, kini berganti posisi menjadi menyamping. Menghadap gue, membuat gue semakin menampilkan raut kebingungan.

"Nggak begini caranya." Suara lantangnya, seperti sihir yang hanya mampu membuat gue terdiam seketika.

Lalu ketika tangannya kembali mengusap atas kepala gue, seperti yang ia lakukan di mobil tadi, sontak membuat gue bergeming. Menatap netranya, gue sadar betul bahwa seharusnya tak boleh begini. Karena gue memang mengakui, bahwa dada gue yang berdesir itu, tak bisa di elakkan lagi setelah menjadi istri seorang Alvin. Yang gue nggak tahu mulainya kapan, tapi yang jelas gue selalu merasa bahwa hal ini seharusnya bisa cepat gue atasi. Gue tak boleh terjatuh, sedangkan ia tak menunjukkan tanda sedikitpun.

COLD LECTURER (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang