🌈Mis You (23)🌈

62 38 11
                                    

Hari ini gue kembali beraktivitas seperti biasa di kota istimewa Jogyakarta. Permana, kemarin hanya singgah sebentar di sini lalu balik ke Malang, karena kuliahnya pun sudah dimulai esok hari.

Tak ada yang beda hari gue saat itu. Dengan hangatnya seduhan kopi disampingku, sudah lebih dari cukup untuk menemaniku dalam mengerjakan makalah pesanan seseorang kepada gue. Namun tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu kamar gue dengan keras, suara seorang pria dengan nada marah dan seolah ingin menerkam gue. Bukannya aku membuka pintu, melainkan aku beringsut mundur di samping lemari pakaian dengan mimik wajah ketakutan.

"Sal ! Salwa. ," dok. . dok. . dok . . dengan tempo cepat sosok itu memanggil nama gue dengan keras.

"Sal !  Ini aku Dimas, bukain pintu cepat Sal !"

"Kak Dimas?" tanya gue dalam suasana ketakutan.

"Iya, ini aku. Buruan buka pintu Sal, gawat." Akhirnya dengan perlahan aku buka gagang pintu itu dengan hati-hati.

"Kak Dimas buat Salwa takut," ucapku bersamaan dengan gue membuka pintu.

"Gawat Sal, gawat," ucap Kak Dimas tergopoh-gopoh.

"Gawat apanya kak?"

"Ibu, Ibu jatoh di kamar mandi."

"Astagfirullah. , Ibu bagaimana kondisinya Kak?"

"Ibu sekarang pingsan. Ayo bantu Kakak bawa Ibu ke rumah sakit."

"Iya Kak."

Kami pun berlari dengan sigap menuju Bu Rita yang tengah pingsan di lantai kamar mandi rumahnya. Gue dan Kak Dimas segera membawa Bu Rita ke rumah sakit terdekat untuk segera mendapat pertolongan pertama.

"Sal ! Makasih ya udah mau bantu Kakak," ucap Kak Dimas.

"Iya Kak sudah kewajiban Salwa untuk saling tolong menolong." Kak Dimas hanya menanggapi dengan senyuman.

Tak lama dokter keluar dari ruang UGD tempat Bu Rita dirawat. Kami berdua langsung menemui dokter itu dan menanyakan kondisi Bu Rita saat ini.

"Dok, gimana kondisi Ibu saya?" tanya Kak Dimas.

"Ibu anda mengalami benturan yang sangat keras, hingga pembuluh darah di otaknya pecah."

"Astagfirullah, . lalu Ibu saya bagaimana dok?"

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi sayang Tuhan berkehendak lain. Ibu anda tidak bisa tertolong."

"Inna lillahi wa inna ilahi rajiun," ucap gue.

"Enggak, dokter bercanda kan?" tanya Kak Dimas tak percaya. Dokter itu hanya menggeleng.

"Saya permisi dulu," ucap dokter itu, lalu pergi meninggalkan kami.

Kak Dimas langsung menangis dan memeluk jasad Ibunya yang telah terbujur kaku.

"Ibuuu. . .bangun Bu. ." ucap Kak Dimas disela isak tangisnya.

"Kakak yang sabar ya," ucapku menenangkan.

"Ibuku Sal. . Ibuku meninggal."

"Sabar ya Kak, Ibu sudah tenang di sana."

Hiks. .hiks. . Kak Dimas reflek memeluk gue. Gue hanya bisa menenangkan semampu gue.

Selepas semua adminitrasi sudah kami urus, kami segera membawa jenazah ke rumah duka.

Suasana rumah duka seketika itu rame, terlihat Gendis yang terus menangis, begitupula dengan Pak Bambang suami Bu Rita yang terlihat matanya sembab.

Sebatas Sekat Tak TerbatasWhere stories live. Discover now