44. Gila!

863 78 7
                                    

"Pa ..." panggil Hazel saat ayahnya tengah membaca dokumen-dokumen kantornya. Pria itu melirik putrinya seraya meletakkan lembar dokumen yang dia pegang, mengesampingkan pekerjaan atas putri cantiknya.

"Ya? Ada apa, Nak?"

Hazel menyodorkan formulir izin orangtua untuk mengikuti prom night akhir tahun dari sekolahnya. "Hazel mau minta izin ikut ini. Boleh, kan?"

Dion menerima formulir tersebut, membacanya sekilas, kemudian mengernyit. "Tiga hari lagi berangkat, kenapa baru izin sekarang? Di sini tertera kalau formulir dikumpulkan satu minggu sebelum keberangkatan."

Hazel diam.

"Ada yang jagain kamu? Kakakmu gak mungkin bisa ikut karena ada pacarnya. Gak mungkin kan Kayla ditinggal? Dia sudah jauh-jauh dari Puncak untuk datang ke sini." Dion khawatir. Maklum, selama ini Lily selalu mengikuti ke mana pun Hazel pergi. Termasuk acara sekolah yang seharusnya hanya diikuti para siswa saja. "Mau papa minta mama Ruth ikut?"

"Hazel udah gede, Pa. Hazel bisa sendiri," tolak Hazel cepat. Dia terlalu malas mendengar ayahnya menyebut-nyebut Kayla.

"Mei ikut?"

"Mei gak akan boleh ikut acara beginian, Pa."

Dion manggut-manggut paham. Sedetik kemudian, dia berkata lagi, "Ken?"

Sejenak Hazel terpegun. Kenapa tiba-tiba ayahnya menyebut nama Ken? Dari mana ....? Ah! Benar. Ken yang mengantarkan Hazel pulang setelah pertengkarannya dengan Theon di sekolah siang itu.

"Kalau dia ikut, kamu papa izinkan ikut juga. Papa lihat anaknya cukup bertanggung jawab," sambung Dion dengan senyum kecil.

Bukannya menjawab, gadis itu justru diam saja. Seandainya ayahnya tahu apa yang sudah Ken lakukan pada putrinya, pria itu pasti akan sangat menyesali perkataannya barusan. Bahkan mungkin pria itu akan langsung memotong lidahnya karena menganggap pujiannya terhadap Ken adalah dosa terbesar yang pernah pria itu lakukan.

Dion akhirnya menandatangani formulir tersebut di kolom yang disediakan. Kemudian dia mengembalikannya pada Hazel. Tak mau berlama-lama lagi, gadis itu segera menerima formulir itu dan berbalik meninggalkan ruang kerja ayahnya.

Tidak sampai lima langkah, Dion berkata, "Hari ini papa bisa ketemu sama Ken?"

Sontak saja Hazel berbalik dengan wajah yang amat terpana. "Kenapa?" tanyanya.

"Papa harus betul-betul mengenal dia kan, sebelum papa bisa lepaskan putri papa sama laki-laki lain?" goda Dion.

"Ih, Papa! Hazel belum mau nikah!"

"Lho? Siapa yang bilang kalian mau menikah? Kan kamu mau papa titipkan sama Ken untuk jaga kamu di acara nanti. Papa harus tahu sifatnya sebelum papa bisa percayakan kamu sama Ken." Dion tersenyum menggoda yang membuat wajah Hazel memerah malu.

"Papa nyebelin!" berangnya dan buru-buru meninggalkan ruangan tersebut. Gadis itu mengabaikan sembur tawa Dion yang meledak setelah berhasil mengerjai putri semata wayangnya.

Dengan langkah besar-besar, Hazel menghentakkan kakinya kasar. Wajahnya masih merah seperti kepiting rebus. Ekspresinya pun terus-terusan merengut kesal.

Ketika dia berpapasan dengan kakaknya di lantai atas, Hazel mendengkus. "Mau ke mana lo? Rapi amat?'

Belum sempat menjawab, Kayla keluar dari kamar Hazel dengan pakaian yang sama rapinya. Terjawab sudah pertanyaannya tadi.

Hazel melirik Theon dan Kayla bergantian. Mereka tampak serasi. Bodoh sekali dia karena merasa cemburu pada kakaknya sendiri. Ribuan kali Hazel menyadarkan dirinya, tapi tetap saja gagal. Dia masih saja menyukai kakaknya yang sudah jelas menyukai gadis lain.

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang