Dia yang Takkan Kembali

27 0 0
                                    

"Banu udah gak ada." Heru mengirim pesan singkat di grup WhatsApp.

Tania terpana. "Selamat jalan sobat, inilah jalan terbaik yang Tuhan berikan untukmu. Sekarang kamu gak akan merasakan sakit lagi. Maafkan aku yang tak sempat menjenguk. Inikan yang kamu inginkan? Tak mau orang lain ikut prihatin melihat kondisimu yang kian menurun. Hanya do'a yang selalu kau pinta, di setiap obrolan kita"

Tiba-tiba terasa ada yang hilang. Antara percaya dan menolak kenyataan, Tania menatap nanar jalanan yang tak terlalu ramai siang itu. Kuda besinya dipacu dengan kecepatan tinggi, menuju Rumah Duka.

Sepanjang perjalanan, semua kenangan berkelebat cepat. Tangis dan tawa bahagia, silih berganti menghiasi hari-hari kala mereka masih sering bercanda bersama.

Tak sampai sejam kemudian, Tania telah berdiri di hadapan Sang Lelaki Bayangan. Tubuh itu terbujur kaku, namun seulas senyuman tersungging di sana.

"Ah, Banu.  Maafkan aku yang tak bisa mendo'akanmu lebih. Ada jurang pemisah nan dalam antara kita. Tuhan kita tak sama."

Usai memanjatkan do'a terbaik yang mampu ia lakukan, pandangannya teralih pada sosok yang sangat dikenalinya, Sandrina. Sahabat mereka.

Iapun mendekat dan berpelukan. Tak seperti biasa, kali ini terasa ada batas di antara mereka. Entah apa. Renata tak berani menduga.

Di luar ruangan, ia bertemu Heru yang langsung menariknya menjauhi para pelayat.

"Ssstt, ada kabar terbaru.", bisik Heru.

"Kamu sudah tahu kalo Sandrina dan Banu sedang PDKT? Sandrina bahkan sudah berpisah dengan suaminya!", lanjut Heru masih berbisik.

'Hah?", Tania tercengang. Bak petir di siang bolong. Ini benar-benar berita tak terduga. Ia tahu, betapa dekatnya hubungan Banu dengan Sandrina. Namun tak menyangka, Sandrina akan senekat itu.

Barangkali kemiripan nasib yang membuat mereka cocok. Dan hubungan itu semakin intens terjalin kala Banu dinyatakan mengidap kanker lidah stadium 4C.

Banu dan Sandrina sama-sama berasal dari orangtua penganut beda keyakinan, yang berusaha bertahan hingga usia pernikahan jelang setengah abad. Sebuah pengorbanan yang tak ringan tentunya. Terutama bagi ibunda Banu.

Sayang, Tania hanya sempat bertemu ayahanda Banu dan mendengarkan akhir kisah perjuangan sang putra melawan kanker yang menggerogoti indera perasanya.

Sang Ayah terlihat begitu tabah dan pasrah. Tak tampak raut kesedihan di wajahnya. Barangkali ia sudah menerima, bahwa inilah keputusan Tuhan yang terbaik bagi anaknya.

Banu, sulung dari tiga bersaudara. Status duda tanpa anak, membuat banyak orang bertanya "Siapakah perempuan terakhir tempat ia melabuhkan cinta?".

Dan tak ada yang menyangka, jika sosok perempuan itu adalah sahabatnya sendiri. Sahabat sejak kecil, hingga maut memisahkan mereka.

Tania yakin, selama ini Sandrina menganggap Banu tak lebih dari seorang sahabat yang siap pasang telinga, mendengar keluh kesah orang di sekelilingnya. Demikian pula dengan Banu. Barangkali "rasa" itu baru ada, setelah Sandrina menemani Banu dalam proses penyembuhan.

Ya, sepertinya mereka memang cocok. Banu yang tertutup untuk masalah pribadi, bisa begitu terbuka di hadapan seorang Sandrina yang penuh perhatian dan pengertian.

Sayang Tuhan mengakhiri kisah kasih mereka, sebelum sempat terwujud nyata.

Sekali lagi, Selamat Jalan Lelaki Bayangan. Terimakasih atas persahabatan yang telah engkau tawarkan selama dua tahun dirimu dalam perantauan.

Semoga Tuhan mengampuni dosamu dan menerima keimananmu walaupun itu hanya sebesar biji zahra.

Aku tahu kamu mengimaniNya dalam diam. Semua perkataanmu waktu kita berdiskusi dulu, begitu sarat makna keimanan. Namun kamu tak mungkin menyatakannya, karena ada sebab yang hanya dirimu dan Tuhanmu yang tahu...

*bersambung...

Lelaki Bayangan Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin