(1) Ragu

559 210 434
                                    

Gue Nazeya Aneska, boleh dipanggil Nana, boleh juga dipanggil Zeya, sesuka kalianlah. Dan cowok yang lagi bonceng gue ini Razilio Geovanoran, gue sih manggilnya Ajil, dia pacar gue. Punya gue titik.

Dia itu tipe cowok yang kalem banget, gak bar-bar, gak banyak ngomong, gak ngasih janji palsu tapi langsung dibuktiin, tipe perfect boy banget kan? Tapi dia itu sering bikin gue kesel, and one more again, yang suka sama dia banyak, dari anak cheerleader, anak merching band, sampai kakak wakil ketos juga pernah nembak dia. Gue sendiri bahkan bingung, dari sekian banyak cewek perfect, kenapa dia malah milih gue yang gak cantik-cantik amat, otak juga standar.

"Aduh, sakit anjir," tuh bocah ngerem mendadak, sampai-sampai jidat gue kejedot sama helmnya, sakit sumpah.

"Udah sampe," katanya dengan watados, dia langsung turun begitu saja dari motor, dan nggak minta maaf sama sekali atas tindakannya yang bikin jidat gue benjol.

Dia turun dari motornya, sedangkan gue tetap stay di jok motor belakang dengan bibir yang dikerucutkan.

"Gak mau turun? Ya udah, gue masuk sendiri," dia malah ninggalin gue anjir.

"Jil tungguin ih," gue teriak sambil mencak-mencak. Akhirnya gue tetap turun dari motor dari pada ditinggalin, dan untung aja dia nungguin gue.

"Gak peka lo jadi cowok," gue masih aja cemberut ke dia, jidat gua masih nyut-nyutan btw.

Razil diam saja, nggak ngomong sama sekali sama gue. Terus dia tiba-tiba ngebuka helm yang dari tadi masih anteng di kepala gue. Aduh gusti, berdebar hati Zeya. Helm itu ditaruh di atas motor dia, terus tangannya ngerapiin poni gue yang sedikit berantakan karena helm tadi, dia juga ngelus jidat gue yang lebarnya kayak lapangan sepak bola itu, ditambah benjol akibat kejedot tadi, aduh jenongnya.

"Sorry sayang," katanya sambil senyum ke gue. Dia itu paling jago buat ngilangin marah gue. Di gituin aja gue langsung leleh njir. Ibaratnya gini, hati gue itu es krim, senyum dia itu matahari, sekali dia senyum, ini hati gue meleleh hancur lebur jadi cair.

"Iya sayang," jawab gue dengan senyum yang tak kalah lebarnya. Eh tapi masih lebaran jidat gue deh kayaknya.

Oke skip.

Gue sama Razil sekarang lagi di caffe, dia janji bakal traktir gue kalau lolos masuk tim futsal Stupa. Dan sekarang adalah saatnya dia nepatin janji ke gue, karena dia lolos jadi anggota tim futsal Stupa.

Punya cowok kayak dia bikin hati adem, tapi makan hati juga. Banyak cewek-cewek cantik yang deketin dia bikin gue minder jadi pacarnya. Razil itu bisa dibilang siswa yang cukup pintar di sekolah gue, ganteng apalagi. Kalo dibanding-bandingin sama gue emang nggak cocok. Dia itu terlalu lamborghini untuk gue yang sepeda ontel.

"Jil, gue mau ngomong boleh?"

"Lo udah ngomong Ze," jawab dia sambil ngetik sesuatu di ponselnya, entah apa yang dia ketik gue nggak tahu, dan nggak berani buat cari tahu.

Gue pacaran sama dia baru 3 bulanan, masih baru bangetkan. Meskipun udah 3 bulan ngejabat jadi pacarnya dia, gue tetap nggak berani nanya hal-hal yang gue anggap itu privasi dia, bahkan gue megang hp dia selama pacaran aja mungkin cuma 5 kali. Dan ini sama sekali nggak membuat dia ataupun gue merasa keganggu, gue sebagai pacar tahu yang namanya batas wajar. Gue cuma pacar, dan gue nggak berhak untuk tahu semuanya tentang dia.

"Lo kok mau pacaran sama gue?" gue mengucapkan kata-kata itu dengan kecepatan kilat. Buat ngomong itu, gue mikirnya tujuh hari tujuh malam, gue takut dia marah atau kesinggung kalau gue nanya kayak gitu, tapi gue juga penasaran sama jawaban dia. Kebingungan ini udah lama banget gue pendam.

"Apa? Lo ngomongnya yang jelas,"

Syukurlah dia nggak denger.

"Nggak jadi deh," gue akhirnya memutuskan untuk nutup mulut saja, daripada nanti sakit hati dengan jawaban dia.

"Gue tahu lo ngomong apa barusan,"

Ih anjir tuh anak, tadi bilang nggak tahu, eh terus malah bilang tahu. Ah taik lah dia.

"Kenapa gue mau pacaran sama lo? Karena gue cuma ngerasa nyaman sama lo, nggak ada yang bisa buat gue ngerasa nyaman kayak gini selain nyokap gue, dan elo." jawab Razil, dia ngomong tulus banget. Mata legamnya tepat menusuk iris mata gue.

"Tapi gue nggak kayak kebanyakan cewek yang deketin lo, gue nggak cantik, gue juga nggak kaya, apa yang lo liat dari gue," gue benar-bener ingin ngeluarin isi hati gue selama ini ke dia. Sebelumnya, gue nggak pernah bahas ini, tapi setelah gue pikir-pikir, dan daripada sakit hati di ujung, mending kasih kepastian dari sekarang. Gue ngucapin kalimat itu sambil nunduk, nggak berani natap matanya.

Dia kemudian ngangkat dagu gue pake tangannya, iris kami saling beradu tatap kembali.

"Kalo ngomong sama gue, liatnya ke gue." katanya, "stop ngomong kayak gitu, gue nggak suka. Cinta itu bukan soal fisik apalagi duit,"

Oke, gue takut dia ngomong gitu. Auranya jadi beda, sumpah. Dia ngomongnya tegas, pake penekanan, dan tatapan matanya nggak lepas sama sekali dari gue. Dia lalu melepaskan tangannya dari dagu gue, dan gue auto nunduk lagi.

"Kenapa nanya gitu? Lo masih ngeraguin perasaan gue?" Razil nanya gitu ke gue, setelah hampir 1 menit lebih gue diam sambil nunduk.

"Gue nggak ngeraguin perasaan lo, tapi gue ngarasa insecure kalo jalan sama lo. Banyak yang bilang kita nggak cocok, kadang gue sendiri juga mikir gitu, lo itu terlalu jauh buat gue kejar," Gue kamudian memberanikan diri menatapnya. Gue pengen dia tahu apa yang gue rasaain selama jadi pacarnya.

"Ngapain peduli kata-kata orang? Mereka yang ngomong gitu, cuma iri karena nggak bisa pacaran sama cowok ganteng kayak gue. Ze, dengar ya, gue nggak peduli latar belakang lo, gue nggak peduli bentuk fisik lo. Terserah orang mau bilang apa, bagi gue lo itu sempurna."

Anjir kata-katanya bikin hati gue loncat-loncat, tapi pedenya tetap nggak ketinggalan.

"Hilih, ngegembel aja teros, gue serius Jil,"

"Gue lebih serius. Gue sayang sama lo, jangan pernah mikir yang enggak-enggak."

Dia terus meyakinkan gue. Jujur sih, gue yakin dia sayang sama gue, tapi ya gitu, gue ngarasa nggak pantas buat dia.

"Nih," Razil menyodorkan handphonenya ke gue. Gue bingung setengah mati, ngapain dia ngasih HPnya ke gue, kan gue nggak minta.

"Buat apa?"

"Kali aja lo mau liat isi WA gue. Biasanya, orang kalo pacaran, yang ceweknya suka buka-buka WA cowoknya, buat mastiin kalau cowoknya nggak selingkuh. Lo nggak mau kayak gitu juga ke gue?"

Anjir, gue cengo dia bilang kayak gitu. Padahal yang kejedot tadi kan gue, kenapa dia yang jadi aneh.

"Jil, gue emang pacar lo, tapi gue nggak mau ngekang lo, dunia lo milik lo, kalau lo ngasih HP lo ke gue cuma buat ngeyakinin gue, nggak usah Jil. Gue yakin kok lo sayang sama gue. Yang gue takutin cuma satu, gue takut kalau di sini, gue cuma jatuh cinta sendirian." gue nolak buat liat HP dia, sumpah gue emang suka cemburu kalo ada cewek yang deketin dia, tapi gue nggak mau ngebatasin dia, gue cuma mau kesadaran dari dia aja untuk jaga jarak. Dan rasa cemburu gue nggak sebanding sama rasa takut gue pada kemungkinan kalau cinta gue bertepuk sebelah tangan.

Razil kemudian menarik handphonenya lagi, dan dibiarkan tergeletak di atas meja.

"Ze, jujur gue nggak paham gimana caranya pacaran, gue nggak ngerti apapun yang bisa buat lo ngerasa nyaman jadi pacar gue. Tapi intinya, gue bakal lakuin apapun supaya lo nggak ninggalin gue. Dan ingat satu hal, lo nggak akan jatuh cinta sendirian, jatuh cintanya sama gue kok, tenang aja."

Kata-kata dia buat gue yakin kalau dia serius. Gue sayang sama dia, dan semoga kali ini semesta memihak pada gue.


.
.
.
.
.
.

Oke segitu dulu buat part ini, masih awal sih.

Semoga suka.

Don't forget to vote:)

About ZeyaWhere stories live. Discover now